Sabtu, 14 April 2012

CERPEN ISWAN SUAL


TAK TAHAN AKU JAUHI DARIMU
Sebuah cerpen oleh
Iswan Sual, S.S


“ Lan, besok…mungkin aku sudah di Manado. Lamaranku diterima. Mulai besok aku sudah harus bekerja. Kamu tidak marah kan kalau untuk sementara kita harus berjauhan? Aku harus kerja. Menganggur itu tak baik. Aku tak mau jadi beban orangtuaku. Kamu tahu kan kalau sekarang aku sudah jadi seorang sarjana?” kata Felix pada pacarnya dengan perasaan senang bercampur sedih.
Wulandari sedikitpun tak bersuara. Dia hanya diam sambil menatap wajah sang kekasih yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
“ Aku janji akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan tak jauh dari kota ini nanti. Aku juga tak ingin jauh darimu. Aku menyayangimu Wulan. Percayalah. Tapi…kepergianku besok belum pasti kok. Soalnya aku belum dapat uang untuk membiayai hidupku selama satu bulan ke depan sebelum ganjinya kuterima.”
Mendengar perkataan Feliks, mata Wulandari mulai berkedip pertanda bahwa dia bisa tenang untuk sementara. Wajahnya mulai berseri dan melemparkan senyuman kepada Felix dan ke seluruh sudut kamar kos, tempat Felix tinggal.
Menyadari hal itu, Felixpun memberi kecupan ke dahi dan bibir mulan beberapa kali.
***
Setelah berusaha keras meminjam uang, namun gagal,  dari beberapa teman, akhirnya Feliks menyerah. Tak satupun temannya yang bisa dia pinjami uang. Maklum sekarang akhir bulan. Felixpun berkata dalam hatinya “ Mungkin belum waktunya aku jauh dari Wulan.”
Meskipun demikian, Felix pulang ke kosnya dengan perasaan puas karena usaha keras sudah dilaksanakan. Saat gembok kamar baru saja dilepaskannya, telpon berbunyi. “ Halo, kenapa Lan?”, tanya Felix dengan suara lembut dan wajah yang senyum.
 “ Fel, aku bukannya tak mau kau bekerja. Bukannya aku menghalangimu supaya tidak membebani orang tuamu, tapi….sangat sulit kalau aku harus jauh dari kamu. Aku sudah mencoba mengerti dan bersikap biasa-biasa saja. tapi waktu teringat kamu tadi…aku pikir...aku harus memberitahu perasaanku yang sesungguhnya,” ungkap Wulandari dengan nada mengeluh dan memohon.
“ Lan, kamu tak usah kuatir. Besok aku batal meninggalkan Tondano. Tak satupun yang meminjamkanku uang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan ini terjadi karena kita berdua sama-sama belum siap dengan perpisahan ini…walaupun hanya sementara,” kata Felix santai sambil memandangi potret kekasihnya yang ditaruh di atas meja belajarnya.
“ Lho..benar nih? Aduh thanks God. Tapi bukan karena aku yang memaksa kamu kan?”, dengan senang Wulan langsung bertanya lagi.
Setelah percakapan lewat telepon itu, Felixpun menelpon ke Manado untuk memberitahukan bahwa dia belum bisa bekerja di sana karena terganjal oleh masalah keuangan. Pihak yang akan mempekerjakannyapun mengiyakan dan meminta supaya bisa mulai bekerja bulan berikutnya setelah perayaan Natal dan Tahun baru selesai.
Waktu berlalu begitu cepat. Felix dan Wulandari semakin lengket dan mesra. Mereka sudah saling janji untuk sehidup semati walaupun belum memutuskan untuk menikah secepatnya. Mereka sepakat pernikahan dilangsungkan 4 sampai 5 tahun lagi setelah Wulandari menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Manado.
***
Felix merayakan Natal di kampungnya bersama keluarga. Sedangkan Wulandari di Tondano bersama Opa dan Omanya. Juga adiknya. Mereka tak cukup bahagia karena jarak memisahkan mereka.
***
Pada perayaan tahun baru mereka sepakat untuk bersama-sama. Mereka pergi ke gereja bersama dan saling bertukar foto, surat dan kartu ucapan tentang harapan-harapan mereka berdua di tahun baru untuk hubungan spesial mereka. Cahaya-cahaya lampu di saat Natal dan Tahun baru terus melekat pada dalam benak sepasang kekasih ini. Mereka sangat bahagia karena mereka sudah berpacaran hampir mencapai 4 bulan.
***
Tepat pada tanggal 9 Januari 2006 Felix ditelpon oleh orang yang bakal menjadi bosnya supaya segera masuk kerja. Hari itu juga, setelah pamit pada Wulandari, dia berangkat menuju ke Manado. Selama perjalanan mereka saling mengirim sms untuk saling mengingatkan masing-masing supaya menjaga diri dan setia menjaga hubungan. Felix senang dengan pekerjaannya sebagai pengajar di lembaga pendidikan keterampilan yang bernama Max’s Learning Center-sebuah lembaga yang dimiliki oleh sepasang suami istri berdarah Kanada dan Tionghoa. Dia sudah senang dengan pekerjaan sejenis itu saat masih kuliah di Universitas Negeri Manado. Namun tetap saja harinya selalu gunda saat dia sendiri dan memikirkan Wulandari yang kini jauh dari pandangannya. Serasa baru sebentar dia membelai rambut, mencium bibir, dan memeluk tubuh Wulandari.
Perasaan cemburu yang berlebihan kadang muncul. Saat dia membayangkan kekasihnya yang cantik itu kalau-kalau didekati lelaki lain dan tergoda sampai menyukai mereka.
Sekarang Felix selalu menelpon Wulandari. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan sms untuk saling bertanya kabar. Namun semua kini kadang-kadang pesan pendek melului HP tak cukup untuk mengobati rindu.
Sekali seminggu Felix pergi menjenguk Wulandari di Tondano untuk melepas rindu. Kamar kospun menjadi saksi perbuatan mereka yang mulai menanjak ke tahap kemesuman. Waktu yang hanya sehari pada akhir pekan membuat mereka berusaha sedapat mungkin menggunakannya dengan sebaik mungkin.
***
Tak jarang juga jarak yang memisahkan mereka menjadi sebab kesalahpahaman sulit diatasi. Komunikasi sulit terjalin dengan baik. Saat mereka sedang bertengkar perasaan marah dan kesal terasa sulit ditepis dan diatasi. Kadang-kadang terbesit kata dalam pikiran masing-masing untuk segera mengakhiri hubungan.
Wulan hampir-hampir mau menyerah. Apalagi banyak teman laki-lakinya di kampus yang perhatian dan selalu siap membantunya kapanpun dia membutuhkan.
Rasanya godaan-godaan itu mulai mempengaruhinya. Ada beberapa cowok yang sudah mengungkapkan isi hati mereka, katanya. Karena konflik antara dia dan Felix, Wulandari sengaja enggan menolak keinginan cowok-cowok itu. Sekedar untuk menyenangkan perasaan. Tapi sebenarnya itu tak akan disukai oleh Felix. Jika sampai diketahuinya. Wulandari menyembunyikan itu dari Felix. Namun Wulandari juga tidak berani menerima cinta mereka. Dia hanya bimbang dan bingung. Seakan-akan memberi harapan pada cowok-cowok itu.
Felixpun tak jarang nyaris tergoda oleh rayuan dari teman-teman sekerjanya. Dia sering diajak ke tempat-tempat tertentu yang senantiasa memberi peluang-peluang untuk menyeleweng.
Kadang-kadang dia juga teringat wajah-wajah elok pacar-pacarnya sebelumnya yang perhatian dan tak banyak menuntut darinya.
Kalau mau jujur, Felixpun merasa bahwa Wulandari adalah tipe cewek yang suka menuntut dan suka memaksa. Felix kadang berpikir tentang sifat kekanak-kanakan dan egois dari Wulandari.
Ada suatu saat, ketika Felix hendak berangkat ke tempat dia bekerja, dia berpapasan dengan seorang gadis. Mantan kekasihnya.
“ Hei...kamu Felix kan? Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu lagi. Apa kabarmu, Fel?,” tanya Aurilia dengan sedikit menggoda.
“ Aurilia..! Iya aku Felix. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Kabarku baik,” jawab Felix sekedar basa-basi.
Dia teringat dengan Wulandari yang mungkin akan marah kalau mengetahui pertemuan ini. Padahal tidak disengaja.
Dia tak ingin nanti Wulandari terluka karena menyempatkan diri untuk bertanya kabar satu sama lain dengan gadis bertubuh seksi dan berkulit putih ini. Felix juga tak ingin Wulandari melakukan hal yang sama. Itu sama dengan penghianatan!
Tanpa banyak berkata-kata Felix melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan dengan Aurilia. Felix teringat janjinya pada Wulan untuk tak akan berhubungan lagi dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ingatpun tak boleh. Apalagi berbincang-bincang dengan mereka.
***
Banyak juga bekas pacar Felix yang sering menghubunginya lewat telepon. Dalam keadaan yang sedang bertengkar dengan Wulan, Felix bergulat dengan susah payahnya untuk menyelamatkan hubungannya dengan Wulan. Meskipun sulit!
Felix memutuskan untuk menghapus semua nomor telepon mantan-mantan pacarnya dan gadis yang pernah atau sementara berusaha mendekatinya.
Wulandari yang sempat sering berhubungan telpon dengan cowok-cowok se-kampus dengan dia juga melakukan hal yang sama. Wulandari sadar bahwa semua orang yang mendekatinya sekarang merupakan godaan secara tidak langsung untuk menghancurkan hubungannya dengan Felix.
“ Lagipula belum tentu mereka lebih baik atau sebaik Felix, “ pikirnya.
***
“ Lan, aku aku minta maaf ya untuk soal kemarin-kemarin. Aku terlalu emosional. Habis...kamu juga sih...marah-marah padaku di saat yang tak tepat. Tapi apapun kesalahan aku...tolong dimaafkan ya... aku juga tak akan mengingat-ingat kesalahan kamu,” kata Felix melalui telepon setelah beberapa hari sempat bertengkar sangat hebat.
“ Felix, aku juga minta maaf. Aku tahu aku juga waktu itu emosional. Aku sayang kamu, Felix,” jawab Wulandari seraya membiarkan air mata bahagianya perlahan menuruni pipinya yang kemerahan karena sudah akur lagi dengan sang pujaan hati.
***
Setelah genap sebulan bekerja, Felix mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dia merasa sangat diperlakukan tidak adil. Dia dibayar kurang dari Rp. 900.000. Padahal dia pantas mendapatkan lebih karena kemampuannya dan ijasah S1-nya. Dia juga kini siap untuk bekerja di tempat yang baru. Dia melamar pekerjaan di Manado Post sebagai wartawan. Sangat senang hatinya karena melihat namanya terpampang di koran. Dia telah diterima untuk menjadi wartawan. Pekerjaan yang diidam-idamkannya selama ini.
***
Wulandari dan Felix sangat mensyukuri hal itu. Mereka mulai sering bertemu lagi dan bersama-sama menempuh hari-hari mereka. Kalau lagi libur, Felix selalu menjemput Wulandari di kampus. Mereka telah dipersatukan oleh keinginan untuk selalu bersama.
***
TAMAT

CERPEN ISWAN SUAL



SAYANG,
TOAR TAK SAMPAI  TETEWATU

[Sebuah Cerpen]







Oleh
 Iswan Sual




Kami telah bersepakat untuk menikmati hari libur Idul Fitri  di tempat yang tak lumrah. Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan melihat riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak jarang alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air yang tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri bukan karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan kami pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi tujuan wisata kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami juga terdapat situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh dengan medan yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang mengeluh soal ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami telah bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi.   Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka bisa melaksanakan keputusan itu dengan baik, semua tiada menunjukkan tanda-tanda penghianatan pada keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun awalnya ada keraguan. Ini karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan sering melanggar setiap hasil musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu sangat baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di atas meja. Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka jalan saat masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan ada serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak satupun daribantara teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan melihat ke langit bagian timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,” gumamku dalam hati
1 Batu titian. Situs ini terletak di perkebunan dekat hutan Lolombulan. Orang-orang peminat kodok sering ke tempat ini.

Melihat kondisi seperti ini, aku ragu akan kedatangan teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,” kataku bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman lelaki. Tak satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk memberitahukan bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,” tanyaku protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami tak mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya kami memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja begitu…Kalian tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi Tarzan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup lama. Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain? Maksudku para gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak tahu. Tak pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian pasukanpun telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit. Kulihat jamku. Sekarang jam 08.30.
“ Huh…Kita sangat jauh dari rencana,” kataku kesal.
Setelah semua telah terkumpul di rumahku, kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak lambat ke arah barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda gurau pun menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter, kulihat Toar berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“ Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“ Alkitabku tertinggal di atas meja. Di rumah kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun. Kalian bisa jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke Tetewatu?”
“  Tenang ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu terlalu lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi langkah sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman lain sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah dilumat belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum muncul. Sudah 15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga menampakkan batang hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap diserang penyakit farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan bersama supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di persimpangan seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak lagi 18 orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama melaksanakan ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,” kataku seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus menyusul teman-teman yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan. Kelompok yang terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian cepat. Kekasihku mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli. Ku jelaskan alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya jadi cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun. Benar kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku raih tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat  daripada rentetan kata yang panjang. Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20 meter. Ternyata mereka juga  memperlambat langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati. Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan bom Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya bukan bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang. Ngos-ngosan. Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari. Sambil membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau tumis membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang baik makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan apo-apo2 kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di perkebunan Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli dan dua gadis yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat ditunggu di tempat itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
2 Leluhur/orang tua yang telah berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya dikenal sebagai orang bijak dan baik (Tontemboan).
 “ Sekarang kita sudah di sini. Selanjutnya kita mengambil jalan yang mana? Ke kiri, ke kanan atau lurus saja?” tanyaku.
“ Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau cepat seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si Ading berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“ Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan sudah buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu di sini.  Jadi ku ku simpulkan kita akan memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku lihat Toar mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan ke kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar. Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi semakin jauh. Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami berusaha memangil si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan kesepakatan bahwa kami tetap harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan sendiri. Kami terus berseru memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin memudar. Keras kepala! Dia pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini suaranya tak terdengar lagi. Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus kedepan. Lewat sungai besar. Beberapa teman gadis ada yang takut melintasi sungai. Terpaksa kami temani lewat sisi lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami mengambil  alternatife jalan di jembatan kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar. Sampai sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya putuskan untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang curam.Turuni lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi aliran air yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku dengan riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar kami untuk melihat buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan Hawa jatuh dalam dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu persis di depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai berjalan di depan kami.
3 Pisang (Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak di utara desa Tondei.

“ Kita harus menyusuri sungai. Kita akan mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya. Walaupun awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“ Kira-kira dia dimana ya,” bisikku dalam hati.
Sebagai  pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia. Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan karena dia yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu mendahului kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan membuntuti teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan cekatannya. Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah beberapa kami tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang kekasih.Tampak mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama lain. Pasangan yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka akan segera menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga  dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin materialistik. Anak perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit orang tua yang door to door menawarkan anak perempuan mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang berminat, tapi selalu saja memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya. Tidak jarang pertanyaan itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat dari apa? Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung atau beras? Sudah berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah pernah dicicipi? Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya. Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi pasangan yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau kalau tidak, si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga komoditinya berkurang atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah bunting, orang tua si gadis suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.” kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang berada tepat di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak gembira menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya tampak sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang span-span5 yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi ketelanjangan Tetewatu. Dia masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar kami sendiri secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua begitu kusyuk ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini. Rembesan air yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada yang Maha Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
4 Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini berarti jangan terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5 Ketat (Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti gadis atau wanita yang menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.

“ Ini luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita melihat dunia baru,” kata makhluk halus yang sedikit open-minded6.
“ Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,” kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita bangkit dan bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan kemajuan?”, kata makhluk halus yang Open-minded.
“ Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi yang meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu wujud kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“ Dimana dia gerangan? Jangan-jangan, dia telah diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7 yang besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore. Seharusnya dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“ Teman-teman mungkin sudah saatnya kita pulang,” usul Yanli.
“ Bagaimana kita pulang? Apa kita akan kembali menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“ Tidak. Kita harus terus mengikuti kemana sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka berlama-lamaan. Namun, semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami berguncang dengan cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya. Tidak heran.Kami sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap. Tetewatu kini terasa mulai menakutkan.
“ Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari gelap.Tak ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan yang mengancam itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan terkenal angker dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon kelapa. Kami bisa remuk oleh belitan ular.
6 Berpikiran terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7 Ular Piton (Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan dan hisapan linta-linta buas.
 “ Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“ Sudah kubilang supaya tetap bersama. Kenapa sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran sungai. Kini kami telah berada di area bernama Licu incawayo8. Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan Punti. Mampir sebentar di Tampagula9. Secara bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar. Tombal rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju perkebunan Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor  milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk tiba di kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang menanyakan keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih dulu.Dia mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul 23.00]

8 Punggung kuda (Tontemboan). Area disebut Licu incawayo karena bentuknya menyerupai punggung kuda.
9 Tempat gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap terakhir dalam proses pembuatan gula aren.
10 Air nira yang sudah di masak (Tontemboan).
Is-One 158  Iswan Sual, S.S adalah seorang penulis pemula. Namun dia sangat prihatin dan begitu bersemangat dengan untuk mulai bergelut.Dia adalah lulusan S1 dari Universitas Negeri Manado.Fakultas Bahasa dan Seni. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris.
Dia berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD dan SMP di desa Tondei dan dosen di salah perguruan tinggi di Sulawesi Utara.
Dia banyak terlibat dalam kegiatan gereja dan kemasyarakatan di desanya baik sebagai pendamping maupun sebagai pelaksana.
Sekarang ini menjabat sebagai Ketua Komisi Pelayanan Kategorial Pemuda Toaat GMIM “Bukit Moria” Tondei Satu.
Di tengah-tengah berbagai kesibukan dia masih menyempatkan untuk membaca dan berekspresi lewat lewat puisi dan prosa.Dia juga memiliki ketertakikan untuk belajar politik, sejarah, bahasa-bahasa asing lain dan seni serta budaya. Dia berharap secara konsisten bisa melahirkan karya-karya yang berakar dan bertumpuh pada pemikiran pemikiran Tou Minahasa (Minahasan-based Thought).Ini lahir karena keprihatinannya bahwa orang Minahasa kini semakin tidak produktif dalam pemikiran.


Cerita Rakyat Minahasa



MA’BERIS
Oleh Iswan Sual

Pada suatu hari ada sepasang suami istri tinggal dalam satu rumah yang cukup sederhana. Letaknya cukup berjauhan dari pemukiman yang ramai. Si istri dalam keadaan hamil tua (baca:tinggal menunggu waktu pendek untuk melahirkan). Ini membuat si istri tak bisa lagi beraktifitas terlalu banyak di luar rumah. Pada zaman ini pekerjaan seorang perempuan desa tidak jauh berbeda dengan seorang pria dewasa. Namun keadaan hamillah yang membuat si istri ini tidak bisa berbuat seperti itu lagi.
Si suami suka berburu binatang hutan seperti tikus, monyet, dan babi. Karena kegemarannya ini kadang-kadang dia lupa pulang rumah dan tak ingat istri yang sudah hampir melahirkan. Ketika dirasanya hasil buruannya cukup untuk dibawa pulang, maka dia akan membulatkan hati untuk kembali ke rumahnya. Dia kembali dengan senyum puas walaupun kelelahan. Setibanya di rumah dia langsung meminta istrinya menyiapkan makan malam. Tak lupa dia juga meminta supaya istrinya memasak hasil buruannya. Keadaan terasa biasa saja. Istrinya hanya menurut saja kepada suaminya tanpa bicara. Itu adalah hal biasa. Si suami beristirahat membaringkan badan sambil melihat keluar. Malam itu bulan purnama. Lama kelamaan, situasi jadi berubah karena bunyi seperti anak yang sedang menyusui dari tetek ibu terdengar secara terus menerus. Si suami mulai bertanya-tanya. Dia mulai memperhatikan istrinya yang sedang bekerja di dapur. Diperhatikannya istrinya yang memotong binatang buruan dan juga bahan-bahan masakan dengan kukunya yang panjang seperti pisang. Punggung isrinya berlobang. Dari situlah bunyi suara bayi menyusui terdengar. Kelihatan ada bayi di dalam lubang pada punggung istrinya. Istrinya tiba-tiba menghadap dia  dan mengejarnya. Si suami lari terbirit-birit kearah hutan belantara dan akhirnya mati ketakutan. Istrinya ternyata telah meninggal beberapa minggu sebelumnya pada saat sedang melahirkan. Sekarang dia telah menjadi hantu-Pontianak atau ma’beris.


CERITA RAKYAT


ASAL MULA BURUNG TERIOR
Oleh Iswan Sual


Di suatu desa yang berbukit tinggallah seorang ibu bersama seorang anaknya laki-laki. Anak laki-laki itu telah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih dikandungan ibunya. Kepahitan hidup karena ditinggalkan suami membuat ibunya  sakit-sakitan. Karena tak memiliki sanak saudara, wanita itu mengurus dirinya  dan anaknya tanpa bantuan orang lain. Tambah lagi tinggal mereka agak jauh dari keramaian, ini membuat orang-orang di desa mereka jarang bersua dengan mereka.
Keruwetan hidup yang dialami orang wanita ini membuatnya menjadi seorang ibu yang keras terhadap anaknya. Dia berusaha mendidik anaknya untuk bekerja semenjak usia anaknya belum pantas untuk melakukan pekerjaan. Anak itu pun menurut dan menerima kenyataan.
Menjelang senja disuruhnya anaknya yang bernama Wuring itu untuk menimba air. Letaknya jauh dari kampung. Jalan yang harus ditempuh penuh becek dan menanjak. Melihat ibunya yang sudah tak berdaya, dengan sedikit takut karena hari mulai gelap, anak itu pun memaksa diri turun dengan perlahan menyusuri jalan ke mata air.
Baru beberapa saat di pancuran, hari sudah menjadi sangat gelap. Pohon yang rimbun membuat keadaan di sekitar kian pekat. Karena tak ada obor dia pulang dengan berjalan meraba-raba dengan kakinya. Dibantu tangan kanannya. Sedangkan tangan lainnya menahan beban di bahu. Belum sampai sepuluh meter dari pancuran dia terpeleset dan jatuh. Braak! Semua air dalam bambu tumpah di  jalan yang becek itu. Untung wadah airnya tidak sampai pecah. Tanpa putus asa dia kembali menimba. Bunyi jangkrik, kodok bahkan burung hantu tidak diperdulikannya. Bayangan ular-ular berukuran sebesar badannya, yang konon sering dilihat oleh warga, tidak menggangu konsentrasinya menanti air penuh dalam bambu beruas lima tersebut.
Ibu yang menunggu di sabuah geram sebab anaknya tak kunjung tiba. Kepergian Wuring sudah terhitung lama, tidak seperti biasanya. Dia menyangka anaknya bermain dengan teman-temannya di mata air.
Dengan usaha terbaiknya dia pun mengambil sebatang rotan yang digantungkan di dinding. “Anak tak tahu diuntung! Rasakan jambuk ini bila kau kembali,” gumamnya.
Sang anak mengap-mengap menaiki tanjakan. Hampir kehabisan nafas. Berusaha dia menjaga keseimbangan agar tak jatuh. “Uter keli!” katanya. Berat sekali.
“Wuring! Dimana kamu? Kurangajar kamu ya!” ibunya berteriak dari sabuah.
Wuring tahu betul bila ibunya sudah berteriak begitu, pasti dia akan dilecut dengan cambuk hingga badannya bengkak-bengkak. Keperihan yang diakibatkan oleh rotan bisa berlangsung sampai berhari-berhari. Kian perih bila tak sengaja mengena rerumputan.
“Wuriiiing!” ibunya berteriak tanpa sabar tersisa.
“Iya bu! Sebentar lagi. Uter! Berat! Pikulannya terlalu berat!”
Semakin keras ibunya berteriak semakin keras juga Wuring berteriak. Dia terus menyebut kata uter yang berarti berat. Namun, dia semakin takut. Pikirannya kalut. Dia terus meneriakkan kata uter sambil menaiki bukit di belakang tempat tinggal mereka. Namun, karena terlalu takut akhirnya dia jatuh ke tanah. Dalam keadaan putus asa dia terus meneriakkan uter! Uter! Uter! Uter! Uterior! Uterior! Terior!
Tanpa sadar, tubuh Wuring ditumbuhi bulu-bulu. Dia kemudian memiliki sayap. Mulutnya menjadi monyong. Dalam keadaan gelisah dan takut karena perubahan yang terjadi pada raganya, dia berlari tak tentu arah. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Dia terbang sembari berteriak terior! Terior! Wuring kemudian terbang menuju ke sabuah dan bertengger di atapnya. “Terior! Terior! Terior!”
Karena penasaran dengan bunyi yang terus saja terdengar itu, ibu Wuring memaksakan dirinya untuk keluar. Tak disangkahnya anaknyalah yang dia lihat. Wuring yang sedang berubah menjadi burung itu meneteskan air mata. Tak bisa lagi dia berbicara dalam bahasa manusia. Yang bisa dia ucapkan hanyalah terior! terior! terior! Ibunyapun menangis histeris.
“Wuring, maafkan ibu! Maafkan ibu yang jahat padamu, nak.”
Wuring yang kini sudah menjadi seekor burung sepenuhnya tak sanggup lagi melihat ibunya menitik air mata terus menerus. Dia tak tahan melihat memikirkan kemalangan ibunya yang kehilangan seorang anak untuk membantunya yang mulai uzur. Wuring kemudian terbang lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Di hari-hari berikutnya dia terus datang menengok ibunya. Setiap sore dia terbang kesana kemari di atas sabuah ibunya sambil berucap terior…terior…terior!

* Sabuah (Bah. Tontemboan Minahasa): gubuk
* Cerita ini dilisankan oleh Lexy Sual (ayah penulis). Konon, cerita ini dituturkan oleh para orangtua mereka dulu.

CERITA RAKYAT ISWAN SUAL


TIDUR 9 HARI
Oleh Iswan

Cerita ini adalah kisah nyata dari ayah penulis mengenai seorang yang bernama Hero Timporok. Hero adalah kakek buyut dari penulis. Ayah dari ibu ayah penulis.
Cerita dimulai dari ketika Hero berumur 16 tahun. Suatu ketika dia memberitahu ayah ibunya bahwa dia akan tertidur selama 9 hari di lumbung padi. Apabila sudah lewat 9 hari dia tidak bangun, orang tuanya boleh menguburkannya. Hal inipun diberitahukannya setelah dia bermimpi. Inilah yang terjadi dalam mimpinya.
Tiba-tiba saja dia sudah berada di pantai. Disitu sudah ada seseorang yang berpakaian putih. Orang ini juga bersayap. Si orang bersayap, ini dari kejauhan, memberi peringatan supaya cepat-cepat naik di punggungnya kalau tidak dua ekor singa di sekitar akan segera menyantapnya. Ada keraguan dalam diri Hero. Namun karena singa semakin mendekat dan mengganas, Hero dengan cepat-cepat (tak ada pilihan lain) naik ke punggung orang bersayap itu. Hero dan si pria bersayap langsung melesat dan tiba-tiba mereka sudah berada di tengah lautan. Dalam hati si Hero penuh dengan tanda tanya. Perjalanannya memakan waktu beberapa hari. Akhirnya sampailah mereka di tepi laut seberang. Terdengar suara beng-beng-beng-beng. Seperti ada orang yang memukul-mukul besi dengan besi. Suaranya melengking di telinga. Dan tampaklah kepada Hero pintu gerbang yang panjangnya dari tanah sampai ke langit yang bergerak terbuka dan tertutup. Inilah yang menyebabkan suara beng-beng tadi. Tampak juga beberapa singa dekat pintu gerbang tersebut. Si manusia bersayap mengingkatkan sekali lagi supaya Hero bergegas masuk melalui pintu gerbang tersebut. Karena terdesak oleh singa-singa yang tampak mengancam, Hero memutuskan untuk berlari dengan cepat menerobos masuk melalui pintu gerbang yang terbuka dan tertutup.
Setelah melewat pintu gerbang, dia berjalan cukup lama sehingga akhirnya tiba di persimpangan jalan. Ada dua jalan. Yang satu terbuat dari emas berwarna kuning. Sedangkan yang satu lagi penuh duri. Pada saat Hero mencoba masuk di jalan yang terbuat dari emas, dia dicegat oleh manusia lain yang juga bersayap. Dia ditawarkan untuk melalui jalan yang berduri dulu. Namun dia diberitahu tak akan menderita ketika melewati jalan itu.
Dari kejauhan mulai terdengar jeritan orang. Semakin dekat semakin terdengar jeritan yang mengerikan. Akhirnya tampaklah dari jauh suatu wadah yang besar sekali yang menyerupai panci pengoreng. Di bawahnya ada api yang tak terkira besarnya. Kelihatan orang-orang berbondong-bondong terjun kedalam wadah itu. Sambil terjun mereka menyebutkan (meneriakkan) dosa-dosa atau perbuatan buruk mereka sewaktu masih hidup. Sampai mereka jatuh ke dalam wadah besar (seperti lautan besarnya) yang mendidih sangat panas. Ada beberapa orang yang dikenalnya di situ.
Hero sangat tak tahan melihat penderitaan orang-orang tersebut. Sangat menakutkan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari situ. Setelah cukup lama di situ, Hero diarahkan oleh seorang yang bersayap untuk menuju ke tempat lain.
Mereka mulai berjalan lagi. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan. Dari kejauhan mulai terdengar suara yang nyaring nan indah. Semakin dekat semakin indah. Hero merasakan merdunya suara itu. Seperti paduan suara. Dari kejauhan dia melihat sejumlah besar orang yang berkumpul berpakaian serba putih. Suara nyaring dan merdu ternyata berasal dari kumpulan manusia berpakaian putih ini. Seperti paduan suara mereka menyanyi dengan penuh sukacita. Heropun mengamat-amati ternyata ada orangtuanya. Mungkin tempat inilah yang dinamakan dengan surga. Tidak lama kemudian si manusia bersayap memberi tanda bahwa waktunya telah habis. Diapun dituntun pulang melewati tempat dimana dia lewat sebelumnya.
Tiba-tiba Hero terbangun dari tidurnya. Waktu itu banyak orang telah terkumpul untuk menyiapkan pemakaman darinya. Karena selama sudah 9 (Sembilan) hari dia tertidur tak sadarkan diri. Ternak dan banyak ayam berkeliaran seringkali mengerumuninya.
Orang-orang terkejut karena Hero akhirnya bangun dari tidur setelah tidur selama 9 (Sembilan) hari. Pada saat dia terbangun sudah ada di sampingnya gelang dan buku menyerupai alkitab (kaul). Konon dia banyak menyembuhkan orang hanya dengan meletakkan benda ke orang sakit. Tapi tidak tahu menahu tentang kitab itu. Nanti ketika injil dikenalnya dia melihat pendeta memegang benda seperti itu kemudian mengatakan bahwa benda itu sama dengan apa yang didapatinya setelah terbangun dari tidur 9 hari.

CERITA RAKYAT ISWAN SUAL


TERTIUS DAN HERO
Oleh Iswan Sual

Setiap hari raya pengucapan di desa Ongkau, hampir seluruh warga dari desa Tondei datang kesana. Di hari raya ini warga bertemu dengan saudara-saudara mereka yang telah bermukim di Ongkau. Selain itu, pengucapan ini dijadikan ajang oleh warga Tondei untuk memperkenalkan kepada anak mereka mengenai pantai yang selalu mereka ceritakan. Jadi, hari itu juga dijadikan kesempatan untuk mengajarkan anak mereka berenang, mencari kerang, berbagai jenis ikan, dan bagaimana rasanya menaiki perahu.
Lama mereka tinggal di rumah saudara mereka di desa itu bisa hingga tiga hari. Bahkan sampai seminggu. Mereka kadang datang tiga hari sebelum hari H sampai tiga hari sesudah hari H. Namun saudara tidaklah keberatan. Nasih jaha, dodol , erwe, babi rangsak dan beragam makanan lain yang melimpah dapat menghidupi rombongan itu lebih dari sehari.
Para pemuda dan pemudi dari dua desa itu ada yang menemukan jodoh mereka di kala hari pengucapan. Ini membuat kekerabatan antara dua kampung itu semakin erat. Sehingga Ongkau, dirasa seperti kampung sendiri oleh orang-orang dari Tondei.
Suatu hari para pemuda saling menantang untuk beradu dalam sepak bola. Peraduan dalam sepak bola merupakan kesempatan pemuda-pemuda untuk menunjukan kebolehan sekaligus kejantanan mereka. Peraduan ini juga dianggap untuk lebih mengakrabkan para pemuda dan pemudi. Melalui kesepakatan, mereka memutuskan untuk bermain di lapangan dekat pantai. Lapangan itu tidak terlalu memadai untuk pertandingan karena terletak di bahan pohon-pohon kelapa. Mereka pun mulai bermain. Awal permainan seru. Kedua tim memiliki pemain-pemain yang tangguh. Skor mereka seimbang. Namun, yang aneh ketika permainan berlangsung. Setiap kali pemuda Tondei mendapatkan bola, mereka selalu mengarahkan tendangan mereka ke arah buah kelapa. Dan buah kelapa selalu jatuh dan nyaris melukai pemain-pemain Ongkau. Pada mulanya, mereka menganggap itu adalah ketidaksengajaan yang berulang. Namun, lama kelamaan niat untuk menang dengan cara curang yang dilakukan oleh tim dari Tondei ketahuan juga setelah tiga dari pemain andalan tim Ongkau terluka kakinya karena dijatuhi buah kelapa. Mereka naik pintam dan siap untuk berkelahi. Rupanya perkelahian adalah hal yang ditunggu oleh para pemuda Tondei. Mereka yakin perkelahian itu pun akan mereka menangkan. Berbekal jimat yang ada pada para pemuda Tondei, pemuda-pemuda Ongkau tungganglanggang ke rumah. Dan mereka mengaduhkan persoalan itu ke hukum tua setempat.
Hukum tua yang berang langsung menuju ke lokasi kejadian. Satu per satu pemuda-pemuda Tondei dipukulinya. Jimat yang mereka andalkan tak berkutik menghadapi Ruli, sang kepala desa. Dengan tergopoh-gopoh, lari beberapa pemuda yang menyaksikan penyiksaan ke Tondei. Sang pemuda yang berlari seperti di kejar setan itu bahkan sempat menyimak bahwa pemuda-pemuda itu akan dibunuh oleh kepala desa.
Berita tentang penyekapan para pemuda Tondei tersebar ke segala penjuru kampung Tondei. Orang-orang tua yang sedang di kebun pun pulang. Terkumpulah mereka dan menuju ke Ongkau. Kedatangan rombongan itu tidak menciutkan keberanian Ruli Maringka. Dia bahkan mengumumkan kepada masyarakatnya untuk bersiap-siap pula. Rulli dengan pistolnya naik ke atas kuda jangkungnya memimpin pasukan. Mereka telah bersepakat untuk mencegat pasukan dari Tondei di perkebunan Pondos. Perkiraan mereka meleset. Belum seratus meter mereka meninggalkan Ongkau, terlihat rombongan  yang hnya terdiri beberapa orang menuju ke arah mereka.
“Berhenti! Kita tunggu saja di sini. Biarkan mereka sendiri menyerahkan nyawa mereka,” kata Rulli dengan pongah.
Rombongan kecil itu terus mendekat. Ternyata di Tondei terjadi kesepakatan, bahwa hanya beberapa saja yang akan turun berperang bila itu harus. Warga lain diminta untuk kembali meneruskan aktifitas mereka. Rombongan itu terus merapat. Yang ada dalam rombongan itu antara lain, Tertius Sual dan Hero Timporok. Dari segi fisik dan usia sudah tak mungkin mereka untuk berperang. Tak satupun dari mereka membawa parang. Hanya lilitan kain merah di kepala yang kentara .
“Kalian di sini saja! Mereka tak lebih dari lima orang. Biar aku yang hadapi mereka,” kata Ruli sambil menggiring kudanya menyusul rombongan Tertius dan Hero.
Tiba-tiba  langkah kuda Rulli terhenti. Matanya terbelalak. Kuda yang ditungganginya berontak tak mau maju. Tinggi kuda menganggkat kedua kaki depannya. Rulli pun berusaha menenang kuda dan melompat turun. Begitu dia berada di depan rombongan itu dia menjatuhkan diri dan tersungkur sambil memohon ampun kepada dua kakak itu. Berkali-kali dia memelas agar dia tak diapa-apakan. Seluruh warga di belakang Rulli terheran-heran dengan apa yang mereka saksikan. Rulli yang sombong dan tanpa belas kasih sering memukul warganya dan warga luar dengan kejam kini menangis seperti anak kecil. Padahal dulu, dia sangat beringas. Apalagi, ketika menyiksa para anggota dan dicurigai memiliki hubungan PKI. Dulu mentalnya tak beda dengan para kompeni yang bengis. Memang tak mengherankan, dia bekas tentara KNIL. Dia meniru dengan seksama cara Westerling.

CERITA RAKYAT


SONGKOK
Oleh Iswan Sual

Ada dua orang pemuda yang berprofesi sebagai petani gula. Mereka kadang-kadang saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas masing-masing apabila ada di antara mereka yang menyelesaikan pekerjaan lebih dulu.
Suatu hari terjadi: salah satu dari penghasilan kedua pemuda itu mulai berkurang. Air nira yang dihasilkan dari pohon enaunya mulai menyusut. Timbullah rasa irih. Dia berencana untuk tidak meminum lagi air niranya. Namun air nira temannya. Setiap malam dia pergi ke pohon enau temannya dan meminum air nira. Ini menyebabkan air nira dari temannya juga berkurang. Lama-kelamaan pemuda ini mulai curiga.
Yang mengherankan lagi adalah ternyata pemuda yang meminum nira ini secara diam-diam adalah songkok. (Songkok adalah manusia yang kepalanya tercabut dari badannya ketika dia berubah wujud menjadi hantu. Konon dia suka makan kotoran ayam. Itulah sebabnya kadang-kadang orang melihatnya di pohon dimana ada ayam bertengger. Manusia hanya dapat melihatnya dalam rupa seperti bunga api yang menyemburkan api. Konon, semburan api itu sebenarnya adalah semburan darah karena kepalanya terlepas dari badannya).
Kejadian ini berlanjut selama beberapa hari. Ini menimbulkan kecurigaan dari temannya. Akhirnya suatu saat, dia mengkonsultasikan hal ini kepada orang pintar (dukun) di desanya. Disarankannya supaya sebaiknya dia mencari waktu untuk mengeceknya sendiri. Dia juga mengatakan supaya mencari duri-duri yang banyak untuk dililitkan di sekitar pusu dimana air nira diambil. Pesannya: durinya harus banyak.
Diputuskannya untuk mencari tahu dengan mengawasi selama satu malam pohon nira yang hasilnya makin berkurang itu. Seperti biasa dia pulang ke rumah bersama-sama dengan temannya yang sebenarnya adalah songkok itu. Tak lama di rumah dia langsung kembali ke kebun di sekitar pohon nira. Dia mencari tempat yang cocok dari mana dia bisa mengawasi siapa kira-kira yang mencuri air niranya. Namun hal itu tentu tidak diberitahukannya kepada temannya itu.
Lama dia menunggu, namun tak terjadi apa-apa. Akhirnya setelah jam menunjukkan kira-kira pukul 08.00 malam, sesuatu pemandangan aneh membuatnya penasaran. Dia dengan rasa penasaran mulai memperhatikan kumpulan lampu yang bergerak menyerupai kunang-kunang. Dari pengamatannya terlihat dia bergerak menaiki tangga dan berhenti tepat di sekitar “pusu”. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa yang membuat air niranya berkurang adalah sejenis binatang yang menyerupai kunang-kunang (sejenis kumbang). Karena sudah lama dia tidak turun juga, akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah untuk beristirahat-tidur.
Keesokkan harinya, seperti biasa dia menuju kebun untuk mengambil air niranya. Dia sempat mampir di rumah temannya. Tapi walaupun dia memanggilnya beberapa kali hasil nihil. Temannya tidak memberi sahutan. Tidak seperti biasanya. Setelah menunggu lama, akhirnya dia memutuskan untuk pergi tanpa temannya.
Dia memutuskan untuk mengambil air nira yang paling jauh. Pohon aren yang menghasilkan sedikit air nira diputuskannya untuk menjadi tujuan terkhirnya.
Hal yang sangat mencengangkan terjadi. Waktu itu hari mulai terang. Matahari sudah bersinar. Tak ada lagi yang tidak kelihatan. Dia sangat kaget ketika tiba di pohon terakhir. Dari bawah dia melihat temannya di atas nira tanpa badan hanya kepala dan isi perut. Tergantung di sekitar pusu. Isi perutnya tersangkut pada duri-duri yang terlilit di sekitar pusu. Temannya kelihatan menakutkan dan mengenaskan.