ASAL MULA
BURUNG TERIOR
Oleh Iswan Sual
Di suatu desa yang berbukit
tinggallah seorang ibu bersama seorang anaknya laki-laki. Anak laki-laki itu
telah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih dikandungan ibunya. Kepahitan hidup
karena ditinggalkan suami membuat ibunya
sakit-sakitan. Karena tak memiliki sanak saudara, wanita itu mengurus
dirinya dan anaknya tanpa bantuan orang
lain. Tambah lagi tinggal mereka agak jauh dari keramaian, ini membuat
orang-orang di desa mereka jarang bersua dengan mereka.
Keruwetan hidup yang dialami orang
wanita ini membuatnya menjadi seorang ibu yang keras terhadap anaknya. Dia
berusaha mendidik anaknya untuk bekerja semenjak usia anaknya belum pantas
untuk melakukan pekerjaan. Anak itu pun menurut dan menerima kenyataan.
Menjelang senja disuruhnya anaknya
yang bernama Wuring itu untuk menimba air. Letaknya jauh dari kampung. Jalan
yang harus ditempuh penuh becek dan menanjak. Melihat ibunya yang sudah tak
berdaya, dengan sedikit takut karena hari mulai gelap, anak itu pun memaksa
diri turun dengan perlahan menyusuri jalan ke mata air.
Baru beberapa saat di pancuran,
hari sudah menjadi sangat gelap. Pohon yang rimbun membuat keadaan di sekitar
kian pekat. Karena tak ada obor dia pulang dengan berjalan meraba-raba dengan
kakinya. Dibantu tangan kanannya. Sedangkan tangan lainnya menahan beban di
bahu. Belum sampai sepuluh meter dari pancuran dia terpeleset dan jatuh. Braak!
Semua air dalam bambu tumpah di jalan
yang becek itu. Untung wadah airnya tidak sampai pecah. Tanpa putus asa dia
kembali menimba. Bunyi jangkrik, kodok bahkan burung hantu tidak
diperdulikannya. Bayangan ular-ular berukuran sebesar badannya, yang konon
sering dilihat oleh warga, tidak menggangu konsentrasinya menanti air penuh
dalam bambu beruas lima tersebut.
Ibu yang menunggu di sabuah
geram sebab anaknya tak kunjung tiba. Kepergian Wuring sudah terhitung lama,
tidak seperti biasanya. Dia menyangka anaknya bermain dengan teman-temannya di
mata air.
Dengan usaha terbaiknya dia pun mengambil
sebatang rotan yang digantungkan di dinding. “Anak tak tahu diuntung! Rasakan
jambuk ini bila kau kembali,” gumamnya.
Sang anak mengap-mengap menaiki
tanjakan. Hampir kehabisan nafas. Berusaha dia menjaga keseimbangan agar tak
jatuh. “Uter keli!” katanya. Berat sekali.
“Wuring! Dimana kamu? Kurangajar
kamu ya!” ibunya berteriak dari sabuah.
Wuring tahu betul bila ibunya sudah
berteriak begitu, pasti dia akan dilecut dengan cambuk hingga badannya
bengkak-bengkak. Keperihan yang diakibatkan oleh rotan bisa berlangsung sampai
berhari-berhari. Kian perih bila tak sengaja mengena rerumputan.
“Wuriiiing!” ibunya berteriak tanpa
sabar tersisa.
“Iya bu! Sebentar lagi. Uter!
Berat! Pikulannya terlalu berat!”
Semakin keras ibunya berteriak
semakin keras juga Wuring berteriak. Dia terus menyebut kata uter yang berarti
berat. Namun, dia semakin takut. Pikirannya kalut. Dia terus meneriakkan kata
uter sambil menaiki bukit di belakang tempat tinggal mereka. Namun, karena terlalu
takut akhirnya dia jatuh ke tanah. Dalam keadaan putus asa dia terus
meneriakkan uter! Uter! Uter! Uter! Uterior! Uterior! Terior!
Tanpa sadar, tubuh Wuring ditumbuhi
bulu-bulu. Dia kemudian memiliki sayap. Mulutnya menjadi monyong. Dalam keadaan
gelisah dan takut karena perubahan yang terjadi pada raganya, dia berlari tak
tentu arah. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Dia terbang sembari berteriak terior!
Terior! Wuring kemudian terbang menuju ke sabuah dan bertengger di
atapnya. “Terior! Terior! Terior!”
Karena penasaran dengan bunyi yang
terus saja terdengar itu, ibu Wuring memaksakan dirinya untuk keluar. Tak
disangkahnya anaknyalah yang dia lihat. Wuring yang sedang berubah menjadi
burung itu meneteskan air mata. Tak bisa lagi dia berbicara dalam bahasa
manusia. Yang bisa dia ucapkan hanyalah terior! terior! terior! Ibunyapun
menangis histeris.
“Wuring, maafkan ibu! Maafkan ibu
yang jahat padamu, nak.”
Wuring yang kini sudah menjadi
seekor burung sepenuhnya tak sanggup lagi melihat ibunya menitik air mata terus
menerus. Dia tak tahan melihat memikirkan kemalangan ibunya yang kehilangan
seorang anak untuk membantunya yang mulai uzur. Wuring kemudian terbang lagi
dan menghilang dalam kegelapan malam. Di hari-hari berikutnya dia terus datang
menengok ibunya. Setiap sore dia terbang kesana kemari di atas sabuah ibunya
sambil berucap terior…terior…terior!
* Sabuah (Bah. Tontemboan
Minahasa): gubuk
* Cerita ini dilisankan oleh Lexy
Sual (ayah penulis). Konon, cerita ini dituturkan oleh para orangtua mereka
dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar