Sabtu, 14 April 2012

KUMPULAN PUISI ISWAN SUAL


Kumpulan Puisi


Eloknya Negeriku












026018B.JPG




















Eloknya Negeriku
Kumpulan Puisi





Sanksi pelanggaran pasal 44:
1.      Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2.      Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).




















Judul:
Eloknya Negeriku
[KUMPULAN PUISI]
Hak Cipta © oleh Iswan Sual
Penerbit The Humanizer College
Jln. Tondei-Ongkau Tondei Satu
Editor: Iswan Sual, S.S
Desain Sampul: Iswan Sual, S.S
Setting: Iswan Sual, S.S
Diterbitkan pertama kali
 oleh The Humanizer College, Tondei Satu 2012
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
 Dilarang mengutip atau memperbanyak
 sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan The Humanizer College, Tondei Satu
Isi adalah tanggung jawab percetakan


Persembahan & Pengakuan
Karya ini aku persembahkan kepada mama dan papa (Lexy Sual & Selvie Tombuku) yang senantiasa menjadi titik air yang selalu menyejukkan dan surya yang selalu memberikan sinar tanpa mengharap balasan. Aku bahagia menjadi anak kalian.
Terima kasih buat adik saya yang terbaik: Iswadi Sual. Selalu memberikan inspirasi dan melihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga penulis tak selalu sempit berpikirnya. Kau adalah adik dan teman yang kontributif dan inspiratif. Aku bangga memiliki adik sepertimu.
Terima kasih juga buat Della Palapa yang sudah banyak berkorban sehingga memungkinkan terbitnya buku ini. Makase so se pinjam printer.
Terima kasih juga buat Rikson Karundeng, Fredi Wowor, Deni Pinontoan, Bapak H.B. Sondakh, Ibu Maria Th. Djamen, Ibu Polin Sual, Ibu Selvi Bujung, Ibu Dei Wowor dan Ibu Helly Paat yang telah pertama-tama  memberikan penghargaan. Kata-kata kalian membuat aku semakin berani untuk berkarya.
Terima kasih juga untuk Teater Ungu yang sudah memberi ruang sehingga karya ini boleh terpublikasi kepada orang-orang yang tertarik dengan karya sastra yang dibuat oleh tou Minahasa. Maju terus Teater Ungu.

Penulis
































Buku ini ku persembahkan untuk
Della Palapa (kekasihu)
Iswadi Sual , Irma Sual (adik-adikku)
Gloria Sual, Queenta Muntu untu, Aprilino Sual (kemenakanku)
Lexy Sual & Selvie Tombuku (Papa dan Mamaku)

Sajak Untuk Seorang Yang Terbuang

Ibu,
Maafkan anakmu bila tak bergaji tinggi
Untuk membeli tanah berlapang-lapang
Hidup nyaris melarat, Bukan konglomerat
Cita-citaku bukan menumpuk harta
Tujuan perahu hidupku bukan ketenaran
Dan pulau mutiara berlimpah
          Anakmu ingin bersahaja saja
          Ingin memanjat berlaksa-laksa anak tangga
          Menapaki bongkah-bongkah derita
          Menarik keluar dari kandang mangsa-mangsa singa
          Menyingkirkan para penghianat bangsa
Ibu,
Ampuni anakmu yang tak berumah megah
Tak bisa meruah masa rentahmu dengan manja
Ditemani kursi malas dan dibelai empuk sofa
Keinginanku bukan memburu emas
Halalkan semua jalan, Beringas bak binatang buas.
          Anakmu ingin begini saja
          Makan minum apa ada dari meja
          Tak ingin berkuasa memperkosa hak-hak jelata     
          Sambil merampok janda-janda lemah
Ibu,
Maafkan aku bila tak membuatmu bangga dengan mobil mewah
Menghiburmu dengan lagu-lagu nun indah
Membalut daging keriputmu dengan pakaian rancak
Meliputimu dengan cahaya-cahaya hiasan cakrawala.
          Anakmu ini ingin unjuk biasa-biasa
          Tanpa kemeja serba mahal berwarna-warna
          Tanpa pagar-pagar baja
          Tanpa bergaul dengan para ternama
          Tanpa embel-embel yang dibuat-buat
Ibu,
Ampuni anakmu bila berharap mati muda
Tak mau beranakpinak
Tak mau hidup berlama-lama
Tak mau berumahtangga
Menaburi hidup dengan bunga-bunga
          Anakmu ini tak ingin menghirup udara sia-sia
          Ingin hidup bahagia sejatinya bahagia
          Mengikuti dunia realita
          Menuju tahta surga nan baka



















Menuju Puncak Everest

Adinda,
Sungguh indah engkau bersolek
Mata kami terbelalak
Dibuatmu
Sayang otakmu putih seputih stirofoam
Juga setakar stirofoam
Adinda,
Kalau engkau sekolah
Tentu para bujang datang
Ke rumah berlomba
Ada yang bermata biru
Berkulit putih
Digandrungi pula harajuku
Adinda,
Keadaanmu kini
Tak bisa membawamu
Ke tahta ratu
Memalukan persis  babu
Adinda,
Kau elok berbenak dangkal
Sasaran empuk para jahil
Akan diolok-olok
Karena kau tak beda
Dengan monyet
Adinda,
Kau harus pulang
Kepalamu perlu diisi
Dengan bijak Salomo
Agar nanti kau tak melongoh
Adinda,
Dari rahimmu kelak
Lahir bocah-bocah penerus
Angkatan nun cerdas
Penata bangsa
Hingga punya singasana
Adinda,
Kembalilah lekas
Bikin semuanya tuntas
Buatlah kita menjadi pantas
Adinda,
Dari rahimmu harus lahir
Bocah-bocah pemikir
Tak mudah tersingkir
Menakhluk pucak Everest

















Di Kota

Di kota sumpek.
Buatku rindu kampung
Dimana aku minum gratis
Dimana aku makan tak membayar.

Di kota muda-mudi
Saling meniduri.
Bebas.
Tapi harus bayar kadang-kadang.
Membuatku enggan pulang
Tercelah sedikit
Tersebar lekas-lekas.

Di kota orang bak kuda liar
Pergi ke padang lapang
Bebas makan sesuka hati
Bebas bersenggama dengan betina mana saja
Tak pandang tempat.
Indukku tak marah
Dia berkata: “beranak pinaklah
Perbanyak kawanan
Itu urusanmu”.

Namun di kota ini aku hampir mati
Pantai sudah ditimbun
Hilang mata pencaharianku
Tlah dibangun Mall
Untuk kuda-kuda liar
Milik konglomerat.

Aku pulang saja
Berada di tengah kuda dan sapi jinak.

Mereka terganggu.
Kuda tua..kuda muda ku rayu
Mereka suka gayaku
Seperti selebriti yang juga liar
Hari ini kawin
Besok cerai
Mencari kepuasan badania
Berpetualang mencari
Kuda liar lainnya yang binal dan tahan

Kata mereka padaku
“Hey kamu, sekolah tinggi
Tapi moralmu di pantat! Kuda cabul!
Enyah dari padang kami!

Terdesak aku.
 Kuda dan lembuh muda desa di belakangku.
“Mari kita lawan bersama. Mereka  itu kuno! Dasar tua bangka”.










Begitulah Lebih Baik

Ada suatu ketika
Yang semestinya tak terjadi
Begitulah lebih baik.
Jika dipaksakan apa yang kita anggap ideal
Kita justru hanya akan gagal.

Aku terpaksa harus biarkan kau tertinggal
Sendirian,
Supaya kau merenung
Bahwa ternyata aku bukanlah orang
Yang betul kau kenal.
Dan kau sadar, insaf, lepas dan merasa beruntung.

Jangan cari aku di gunung-gunung
Karena mungkin aku ada di lembah
Jangan cari aku di lembah-lembah
Karena mungkin aku ada di gunung

Kadang ku termenung
Meninjau keputusanku
Namun percayalah keputusanku.
Supaya kau nanti tak dirundung malang.

Adalah lebih baik jika aku kehujanan
Supaya di bawah payung kau terlindung.

Adalah lebih baik.
 Induk meninggalkan anak ayam.
Supaya nanti ia bebas terbang melayang

Kepompong harus musnah
Supaya lahir kupu-kupu nan indah.












Negaraku banyak bermimpi

Negaraku banyak bermimpi
Jadi negara besar
Hingga boleh duduk dan berdiri
Dengan bangsa lain serata dan sejajar
Ku usul:  didiklah kami
Supaya berilmu-berpengetahuan
Berakhlak dan bermoral
Tapi,
agaknya sulit.
Pemerintah kita
Pemuka agama kita
Orang tua kita
Tak bisa menjadi pendidik
Daerahku punya impian
Jadi maju dan berkembang
Hingga boleh duduk dan berdiri
Dengan daerah lain serata dan sejajar
Ku sarankan: latihlah kami
Supaya cakap, terampil
Terlatih dan ahli
Tapi rupanya tak gampang
Pemerintah kami
Pemuka agama kami
Guru kami
Tak cakap, tak terlatih dan tak terampil
Desaku ada cita-cita
Jadi mandiri
Hingga tak disebut desa tertinggal
Makan dan minum tanpa membeli
Kubri gagasan: ajaklah sesama
Bercocok tanam, usahakan dan olahlah tanah
Tapi sepertinya rumit
Pemerintah kami
orang tua kami
tak tahu menahu soal
tanam menanam lagi




Sabtu Indah

Tiada ku sangkah,Tak pernah terpikir
Kita kan jumpa,Di suatu pesta
Tak pernah ku lupa
Waktu itu hari sabtu
Tak disangkah-sangkah
Kita duduk satu bangku
Awalnya malu-malu
Akhirnya kita ngobrol melulu
Suasana jadi indah
Oh hari Sabtu penuh kenangan, tiada gundah
Wahai yang empunya segalanya
Yang kekuasaannya melampaui cakrawala dan mega
Aku ingin bertanya tentang cerita cinta
Haruskah segera ku katakan
Segala yang terpendam?
Ku tak mau terusan terbeban
Meskipun nantinya tiada jawaban
Tlah ku temukan seorang gadis
Berparas cantik, sedikit malu-malu
Gadis yang ku dambakan
Pendamping hidup berlangsung selalu
Oh Tuhan katakan padanya
Ku cinta dan ku berharap
Terimalah aku jadi kekasihnya
























Kasih tawar

Persoalan hanyutkanku
Kegalauan menyeretku
Jauh…jauh sarat dengan kepahitan
Dalam…dalam kepanikan
Keramaian…aku sendirian
Kemeriahan…aku kesepian
Teman berbalik menyerang
Sahabat kejam geram
Kasih menjadi tawar
Cinta kurang ajar…kurang ajar.
Hujat…hujat Tuhan
Pekat-pekat gelap awan
Jahat…jahat pasti musnah
Tuhan…Tuhan tolong
Ini hambamu memohon
Anjing-anjing melolong
Takut aku tak bisa ditolong
Kepedulian sudah menghilang
Ditelan budaya saling makan
Hak fakir dimusnakan
Yang terlantar terabaikan
Wahai saudara jangan kecut
Setelah mati kita kan hidup
Baik-baiklah dalam hidup
Sebelum pintu tertutup
















Apa Salah dan Keliruku?

Tiada pernah kuharap
Sifatmu begitu.
Seenaknya berdiam diri
Tidak mengabari.

Apa salah dan keliruku?
Harusnya kau memberitahu.

Besar dan dalam cintaku
Tidakkah kau tahu?
Rasa kuatir saat tiada kabar
Bukankah itu wajar?

Ku peduli
Kau marah memaki
Ku sayang kau menghalang.
Ku bingung dan kini kau melirih.

Besar dan dalam cintaku
Tidakkah kau tahu?
Rasa kuatir saat tiada kabar
Bukankah itu wajar?


















Berupaya

Setinggi langit kami gantungkan cita-cita
Sedalam lautan cinta kami bangun desa
Di antara Lolombulan dan Sinonsayang.
Lahirlah kami generasi baru
Susah payah menuntut ilmu
Kembali berbakti di desa...kampungku.
Hai kawan…ingatlah
Di punggung kitalah tanggungjawab
Harapan, mimpi, dan doa.
Kaum cendekiawan jangan lengah!
Bersatulah kita semua
Rukun, kritis, sekata.
Belajar, berjuang, maju dalam satu wadah
Majulah KSMT
Kerukunan Siswa Mahasiswa Tondei

Maju desaku…maju bangsaku…


Ibuku…mamaku

Ibuku…
Saatku masih terlelap
Matamu tlah memerah karna asap
Pagi-pagi benar engkau bangun
Ibuku…
Kau ku panggil mama
Sbab dalam dirimu kasih sayang ada
Engkau begitu sigap
Mama…
Engkau banting tulah bantu papa
Supaya kelak aku jadi orang
Disanjung dan terpandang
Mama…
Seperti apa balasa yang kan kuberi
Menjawab setiap peluh tiada terperi
Mencoba terus memasang wajah berserih
Mamaku…
Kau ku sanjung sampai akhir hayat.

Kasmaran

Sungguh suatu kebetulan
Kita jumpa di pesta pernikahan
Pertama ku tatap jantungku berdegup
Berupaya ku tahan rasa gugup
Benar-benar tak disangkah
Kita betul bersebelahan, begitu dekat
Walaupun enggan, merapat tak terelak
Kita saling tanyajawab, menatap
Berharap-harap kataku berkesan
--Di hatimu
Kau bawa sampai kau pulang,
Menanti-nanti tingkahku kau pahami
Agar dapat memilikimu sampai mati
Oh pencipta mengertilah
Aku sedang kasmaran
Oh Tuhan pahamilah
Ini benar tak dapat ku tahan
Lebarnya jurang menganga
Pasti ku lewati
Asalkan sayang bawa potretku
Dalam mimpi
Brapapun jauh jaraknya
Mesti ku tempuh
Untuk buktikan padamu
Perasaan sungguh untukmu
Kau seperti buku-buku
Ku baca terus menerus
Kau buatku merindu
Hingga badan jadi kurus











Kiamat: mimpi buruk

Tubuhku panas dingin
Bagai diberi es dan ditiup angin
Mulut terasa pahit
Kepala berkontraksi berdenyut
Badan bagai perahu
Bergesar-kesana kemari
Arahpun tak tentu
Terserah sang kapten apa yang dipilih
Temperature meninggi
Akupun tak sadar diri
Bumi berputar begitu cepat
Planet saling tabrak. Ini sudah kiamat
Aku melihat benda-benda angkasa
Jaraknya begitu dekat
Perputaran bumi melambat
Hilang keseimbangan…ini gawat
Ketakutan melanda semua orang menjerit
Kepanikan menyerang
Semua orang berteriak
Tiba-tiba aku terbangun
Tubuhku bermandika peluh
Ternyata aku masih punya kesempatan
Hingga akhir keluhpun tak perlu

















Harapan pendidik

Di kelas ini bicara ku banyak
Para murid pandang aku tak berkedip
Nanti, kelak kalian kan jadi tokoh
Di kelas ini, suaraku serak
Murid-murid tak ada yang berisik
Kelak, nanti kalian kan jadi sesepuh
Ke sekolah langkah ku mulai lambat
Para murid berlari enggan berpelan
Nanti, kelak kalian kan jadi pejabat
Tubuhku semakin berat
Kalian bertambah bijak
Nanti, jangan pernah lupa
Kau punya tugas mulia
Cerdaskan generasi berikutnya
Buat bangsamu sarat nikmat




Inkonsistensi

Takut pada Tuhan-permulaan pengetahuan
Begitulah kata guru agamaku
Saat hadir di ruang kelas.

Toleransilah dan jangan curang
Begitulah tutur guru kewarganegaraanku
Saat tampil di ruang kelas.
buku seorang
Teruslah jujur dan tekun
Seperti itulah orang tua menasihatiku
Ketika kami berjalan, makan bersama.

Berdoa serta bekerjalah
Seperti itulah pendeta mengkhotbahiku
Ketikaku berserah dalam gereja.

Semua yang dikatakan
Tersimpan dalam benak.
Segala yang dituturkan
Menancap dalam sanubari.

Setiap yang dinasihatkan
Terpendam di lubuk hatiku yang terdalam.

Seluruh yang dikhotbahkan
Meresap ke dalam sukma.

Namun,
Mengapa kini kuperhatikan,
Tindak tandukmu lain?

Mengapa sekarang ku amati,
Sikapmu menyimpang?

Namun,
Kenapa hari ini  ku lihat,
Kau injak-injak didikan dan  hikmat?

Kenapa kali ini ku tatap,
Sikapmu pilih buluh dan curang?

Sembunyi-sembunyi,
Kau ternyata rakus,
biadab bahkan buas.

Diam-diam,
Kau sebenarnya kurangajar,
pencuri dan pendosa.
Kau buatku kecewa
Kau bikin aku terhenyak

Lebih baik tanpa guru
Daripada punya,
Tapi bejat

Adalah lebih baik tak ada guru
Daripada dapat,
Tak berahklak.

Kalian buatku terasing
Kalian buatku bak orang sinting

Durhakakah aku
pabila tak mau lagi menghargaimu?

S’bab rusaklah moralmu
S’bab sesatlah prilakumu.

Hai pendeta,
Kalian cerdas bermain sandiwara.
Hai pendeta,
Kalian tangkas bermain akrobat.

Mulutmu memuja-Nya
Lakumu menghujat Dia
Bibirmu memuji-Nya
Hatimu congkak terhadap Dia.

Wahai adik-adikku,
Janganlah tingkahmu seperti mereka
Karena,
Teruslah mereka ke neraka
Wahai anak-anakku,
Jangan kalian tiru tabiat mereka
S’bab Tuhan tentu akan marah.

Tondei Satu, 29 Maret 2010
[Hari Pertama Ujian Akhir Nasional  SMP]















Buku

Bentukmu membosankan
Asalmu dari dua unsur saja
Kau hanya putih
Kau hanya hitam, kadang multi warna
Tapi, kau tiada guna jika tak ku buka
Penyukamu cuma orang gila
Haus benar dahaga bijaksana
Termasuk aku
Ya,  aku orang sinting
Haus benar dahaga bijaksana
Bila tak ada yang menyentuhmu
Kau dilahap kutu
Hingga hancur berkeping
Namun kau dalam
Lebih dalam dari lautan
Siapa yang menyelamimu
Matanya terbuka tajam
Telinga terang peka
Tak jarang banyak yang tenggelam
Hilang nyawa karna kekenyangan
Kau yang buat aku cerewet tapi santun
Kau tuntun aku jadi nekat namun tak linglung
Aku penuh hikmat
Slamat di dunia dan akhirat
Tapi kini kau dijauhi
Posisimu direbut tivi
Kini jadi pembungkus kacang
Bahkan jadi penyeka pantat
Kau disobek-sobek penuh dendam
Tak ada yang insaf
Kaulah yang lahirkan Sukarno
Kau juga yang peranakan Hatta








Cendekiawan

Satu tekad satu tujuan
Dari situlah kita memulai
Semua demi suatu kemajuan
Hendaklah kita jangan lalai.
Menuntut ilmu mengejar pendidikan
Kehidupan cerdas layak di hari depan
Rukunlah kita, tak pernah bercerai
Membangun kampung yang kita cintai.
Sadarlah…milikilah kemampuan.
Bangkitlah…kejarlah impian.
Bekerjalah…dengan penuh kesungguhan.
Karena kaum cendekiawan adalah panutan.
Berjalanlah…jangan tinggal diam.
Bertindak benar, kritis, hidup dalam keadilan.

Majulah kaum muda…kaum intelektual.
Kerukunan Siswa Mahasiswa Tondei.


Kucintaku (1)

Hai para manusia
Berhentilah konservatif
Kamu hiduplah sendiri
Tanpa harus bergantung berlebihan
Pada cinta dan kasih orang lain
Mereka…jangan kau jadikan Tuhan.

Ingat, orang lain takkan pernah
Memahami sepenuhnya
Karena mereka
Tak mengenalmu
Hanya kamu
Yang bisa
Kamu yang paling tahu
Secara tepat kapan kamu lapar
Lelah, sakit, menderita
Sedih, bahagia,
Senang dan gembira.

Apa mereka tahu?
Mereka selalu bilang cinta
Tapi , apa iya?

Dirimu sendiri tak pernah
Bahkan lupa bilang cinta
Dan sayang
Namun slalu tahu kapan
Kau menderita dan bahagia

Berhentilah berharap pada cinta
Dari bukan kamu!
Karena itu takkan sia-sia
Sama skali tidak. 







Busuk aku nantinya

Benak berkecamuk memberontak
Lama tersiksa dalam penjara jiwa
Di rumah ini tak ada hormat
Di rumah ini sarat laknat
          Kecewa aku dibuat sesama darah
          Barangkali aku sama pula di mata mereka
Perut terasa mual terganjal
Lama menahan muntah serasa mau keluar
Di rumah ini tak lagi ada nurani
Di rumah ini penuh nafsu duniawi
          Sakit-sakit aku dibuatnya
          Mampus aku rasanya
Tenggorakan tercekik kian sempit
Lama nafas terhenti
Di rumah ini terdapat bejat
Di rumah ini semuanya tlah rusak
          Mayat aku jadinya
          Busuk aku nantinya

Kucintaku (2)

Maafkan aku
Tlah berdosa padamu
Tlah lama aku biarkan
Kau sendirian
Hanya untuk menyenangkan
Perempuan
Dan akhirnya yang ku tuai
Hanya tipuan
Seperti menginjak kulit durian
Aku banyak mengabaikanmu
Terjebak dalam kepuasan penuh
Hingga akhirnya jadi jenuh
Bahkan jadi budak cinta mereka karena luluh
Aku menyesal
Menyesal aku
Ternyata tak seorangpun selain engkau
Pujaan hatiku: yang mengerti aku
Yang peduli aku
Yang perhatian padaku
Memang ternyata tak ada yang sayang
Pada manusia secara penuh
Selain dirinya sendiri
Cinta sejati: aku mencintai aku
Cinta tanpa dusta
Cinta yang amat jujur tak kenal umur















Eloknya Negeriku

Adakah tanah sesuburmu yang dapat ku tanami?
Tak ada duanya…
Nyiur, cengkeh dan beragam tanam
Tumbuh dengan kencang
Esoknya sudah boleh dipanen…
          Adakah negeri seindahmu bisa kulalui?
          Tak ada duanya…
          Lolombulan dan Sinonsayang
          Luas sekali terbentang                                                                  
          Hasil buminya sungguh buat kami kenyang
Wahai saudara,
Eloknya negeriku sulit dilupa
Boleh saja aku jauh di seberang
Namun tak bisa berlama
Tak tahan berpisah dari tanah nan indah
          Sejauh mata memandang
          Cantikmu kian benderang
          Makin lama ku tinggalkan
          Berat rasa aku menahan kangen
Wahai saudari,
Bagaimana hati tak tertawan
Air melimpah semuanya tersiram
Insan manapun kan nyaman
Bila tinggal, hidup kan tentram
















Titik –titik air

Titik titik air kecil-kecil jatuh dari langit
Menyambar mukaku dengan lembutnya
Amboi­…seperti tersadar aku dari mimpi yang panjang.
          Lama berselang titik air sampai dada
          Melewati paha hingga kaki
          Semua kini telah kuyub
          Sebentar lagi badanku menggigil
Tapi, sejujurnya, suasana dinginnya
buatku hanyut dalam kesedapan lamunan panjang
Titik-titik air buatku ber mimpi sampai lupa diri.
Tak tahu mengapa. Aku hanya suka.
Suka pada titik air membasahi muka.







Ratuku

Memang...sulit memastikan sesuatu.
Mungkin hanya Tuhan yang bisa.
Namun aku telah berketetapan
Untuk bilang
Ku tlah jatuh cinta dan sayang
Padamu.

Ada orang rela mati
Dengan bom bunuh diri
Untuk bela agama mereka.
Tapi aku ingin mati di sisimu gadis impianku
Ada seorang penyanyi berkonser
Untuk para penggemar
Tapi ku ingin menyanyi hanya untukmu ratuku.

Ada orang sibuk berpelesir kesana kemari
Tapi aku ingin berada di sisimu slalu sayangku.


Bukti Cinta

Jiwa bergejolak
Raga menahan isak
Ketika kudengar kau kan bertolak
Ke suatu tempat  yang masih abstrak.

Tubuhku gemetar
Ragu dan curiga bercampur.
Aku jatuh terkapar
Takut kau nanti ingkar
Tentang bunga nan indah yang tlah mekar.

Jarak antara kita
Kini merobek kemesraan kita.
Jarak…Kini kau musuhku.

Waktu…Duduk menemani.
Apakah cintamu murni?
Waktu…kini jadi sobatku.

Haruskah aku menunggu tanpa sangsi?
Wajarkah aku cemburu tanpa bukti?

Kasih,
Walaupun kenangan indah menjadi puing-puing.
Impian mencinta t’lah mengering
Hati hancur lebur. Dan harapan kini kendur.
Kutunggu kau sampai usiaku usur.
















Kalian Gila

Terlampau lama waktu ku tapaki
Hidup trasa begitu monoton
Upaya sungguh berakibat kosong
Nol besar!
          Ku tulisi kertaskertas
          Goresan warnawarni
          Tercipta karya elok
          Tapi sayang, itu smua sebelah mata dipandang
Mereka bilang:
Wahai…sarjana percuma bergelar
Kalau kantong tak penuh uang
Omong kosong!
          Aku tak ber-uang!
          Yang ku punya ialah pengabdian
          Pengabdian ini untuk semua orang
Ku sadari aku jenis yang tlah usang
Namun suatu ketika
Kepadaku kalian akan berpaling
Saat itu aku tlah tertanam
Dalam liang
Ketika itu aku tlah berpulang
Dikunyah cacing dan kelabang
          Percuma penghormatan
          Tiada guna penghargaan
          Aku tlah tiada
          Hilang tertelan dalamdalam
Keringat bercucuran
Hampir habis
Gagasan terhisap
Dikeruk nyaris kering
Segala itu dianggap mereka sampah
Tak ubahnya kotoran manusia
          Insaf! Insaf!
          Kelak kalian kan sadar
          Akulah yang waras
          Kalianlah yang gila!





Untukmu Yang Sudah Tak Tahan

Di kala hari telah sore. Timbul niat dalam benak
Jemput sang kekasih yang sedang pergi
“Mengapa kau harus pergi?
Sementara aku masih di sini.”
          Kita tlah sepakat
          Berpadu dalam satu ikat
          Merenda hari esok nan bahagia
          Tanpa ratap tanpa airmata
Tak usah menghindar lagi!
Jangan kau rajut tragedi!
          Dulu srasa seperti bulan kau ku rindukan
          Kini kepahitan mau tak mau mesti ditelan
          Kalau memang sinar tak punya
          Mengapa kau datang tunjukkan muka
Adalah lebih baik nyawaku tercabut
Daripada hidup dilingkupi kabut
Pergilah bila tak lagi tahan
Agar berat tidak kian menekan.


 SIKLUS

Dalam kepedihan
Melangkah aku menuju dunia sengsara
Dari jauh bau busuk menyengat
Kepala pening isi perut mau minggat
          Mereka yang tenar kini gentar
          Mereka yang kuat kini sekarat
          Takut serta hilang keberanian
          Lemah tak lagi kuat
Ku lihat daging mereka dirobekrobek
Jiwa mereka remukremuk
Tak hentinya berteriakteriak
Menahan sakit terkeratkerat
          Kasihan, dulu mereka begitu sombong
          Busungkan dada menginjak sang telanjang
          Kasihan, dulu mereka begitu angkuh
          Mencabikcabik kami hingga hancur
Wahai yang duduk
Ingat! Suatu kelak kau kan tertunduk
yang menginjak akan terinjak
yang beringas akan digilas
          wahai yang duduk di tahta
          Camkan! Suatu kelak kau membusuk
          Yang bengis akan terbakar hangus
          Hangus dalam kebakaan



















Kepada Yang Tak Terampun

Wahai yang tlah jatuh
Slamanya kau kan mendapat malu
Pikulanmu akan beribu-ribu
Sampai kau terbunuh
          Jangan berharap pengampunan
          Sbab kini itu adanya di surga
          Jangan berharap pengampunan
          Sbab itu hanya ada dalam kitab
Wahai yang tlah jatuh
Kehormatanmu tlah lumpuh
Citramu sudah luluh
Hingga tubuhmu membusuk
          Mungkin kau menjerit dan bergumam:
          Tak  berlakukah kini pengampunan?
          Usah menunggu belas kasihan
          Namamu hancur tertindih batu nisan
Wahai yang tlah jatuh
Dendam kan dibalaskan padamu
Pun semua yang tak pernah kau laku
Karna begitulah hukum
          Jangan mengharap ampun
          Sbab mereka bukan Tuhan
          Jangan mengharap ampun
          Sbab langit telah menghitam
Wahai yang tlah jatuh
Percuma kau berpeluh
Bagi mereka kau adalah musuh
Sangka mereka kau pembunuh
          Kau hanyalah cerminan: kita hanyalah insan
          Kau hanyalah suri bahwa kita hanya uapan
Kau hanyalah ujian
Apa dalam dunia masih ada ampunan
Wahai yang tlah jatuh
Percuma kau mengeluh
Seisi jagat telah membatu
Smuanya tlah membeku
          Sabarlah walau ditikam
          Tahanlah pada hujaman pedang
          Usah harap pengampunan
          Taruh bebanmu di punggung
Wahai yang tlah jatuh
Kesanalah kau menuju
Meski berat tetaplah maju
Kau nanti diubah putih seperti  salju
Hanya, diatas lumpur janganlah kau berjalan
Kegelapan usah kau ingatingat
Kepada-Nya kau mesti mendekat
Kelak  beban pasti lenyap
















 Derita seorang Idealis

Satu satunya yang kering
Adalah aku
Mereka telah tercebur dan menceburi diri dalam tahi
Tapi berani mengajar murid
Tentang nurani
          Mereka tak gentar
          Meski tindak tiada harmoni dengan
          Apa yang mereka ajar
          Sungguh kurang ajar!
Satu satunya yang masih bersih
Adalah aku
Mereka telah berlumur dan melumuri diri dengan etika basi
Tapi berani bicara bersih
Tentang hidup suci
          Mereka merasa benar
          Meski tutur tiada harmoni dengan
          Apa yang mereka ujar
          Benar benar hambar!
Satu satunya yang peduli
Adalah aku
Mereka saling melempar dengki
Tapi berani ajar empati
Dalam hati penuh maki!
          Mereka merasa punya hati
          Meski tiada harmoni
          Tak patut dipuji
          Amat perih!














Kutukan Burung Sesangkar

Bau busuk ini bukan aku penyebabnya
Menusuk masuk ke rongga tubuh
Meracuni hati merusak otak
Tapi mengapa aku yang mesti mengangkatnya?
Kenapa aku mesti menyimpannya dalam kantong?

Bau busuk ini merasuk dalam jiwa
Mengoyak-ngoyak sukma
Aku terpingkal-pingkal
Meronta-ronta menderita
Kenapa aku harus menelannya?

Sadis! Sadis!
Burung-burung sesangkar
Mendorongku hingga tergelangsar
Ikrar-ikrar sedarah
Dibuat pengkar

Aku adalah Yusuf yang dibuang
Dalam sumur
Aku adalah Yusuf yang dizalimi
Di rumah potifar

Tak tahu hingga kapan batin ini tahan
Aku adalah kotoran
Bagi burung sesangkar
Aku hanyalah rongsokan





















 Lebih baik mati muda

Jangan aku mampus di kala aku tlah renta
Biarlah aku diterkam tanah saat masih berjaya
Janganlah aku roboh ketika tulang sudah keropos
Biarlah diberangus saat sanggup tegak lurus
          Masa tua adalah neraka yang  menganga
          Uban kepala tanda jahanam membara
          Tak mau aku jadi beban mereka
          Tak mau aku jadi keluh kesah saudara
Aku memilih ditelan bumi
Tinimbang jadi batu berat  di bahu
Aku memilih sendiri
Tinimbang  jadi penghalang kebahagiaanmu









Penulis

Iswan Sual, S.S adalah seorang pemula dalam persoalan sastra. Namun sangat prihatin dan begitu bersemangat dengan hal ini. Dia adalah lulusan S1 dari Universitas Negeri Manado. Fakultas Bahasa dan Seni. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris.
Dia berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD dan SMP di desa Tondei.
Banyak terlibat dalam kegiatan gereja dan kemasyarakatan di desanya. Sekarang ini menjabat sebagai Ketua Komisi Pelayanan Kategorial Pemuda Jemaat GMIM “Bukit Moria” Tondei Satu.
Suka membaca dan berekspresi lewat. Tertarik untuk belajar politik, sejarah, sastra dan seni budaya dan ingin sekali melahirkan karya-karya yang berdasar pada pemikiran Tou Minahasa (Minahasan-based Thought).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar