Sabtu, 14 April 2012

Puisi Terbaru

 PUISI TERBARU ISWAN SUAL



Bunga

Bukan hanya perempuan yang tergila padamu
Tetapi aku juga
Karena aku pengagum keindahan
Mengagumi wewangian
          Engkau mengajariku kehalusan
          Dan kelembutan
          Engkau adalah ciptaan Tuhan
          Engkau adalah gambaran kelembutan ilahia
Aku memujamu
Banyak insan memujamu
Kau adalah teman dalam kesendirian
Kau adalah sahabat dalam perenungan
          Engkau bunga
          Memamerkan keindahan tanpa mengharap bayar
          Engkau sadar bahwa kemolekan hanya sementara
          Hingga tak lama-lama bermega

Tondano, 23 Maret 2013

NASIB SEORANG BLOGGER

Berjam-jam di depan layar
Memaksa sepasang mata mengalirkan air
Jari-jari terus saja melompat ciptakan harmoni pada papan tuts
Semua demi menuangkan pikiran memenuhi kertas
          Belum tentu akan dibaca
          Tapi aku pulang dengan perasaan puas
          Semoga perasaan dan harapan menyebar luas
          Menonjok keras para penguasa yang hilang waras
Bukan hanya untuk ikut arus zaman
Bukan hanya menunjukkan kita tidak gaptek
Namun menciptakan budaya Indonesia baru
Masyarakat yang gemar  bergaul dengan buku
          Walau hanya bermodal sedikit rupiah
          Ingin ku jangkau seluruh dunia
          Dunia maya menjadi semakin nyata
          Membuktikan teori “aku berpikir, aku ada”
Berkaryalah , tabrak rintangan
Jangan pikir tentang apatah kelak dilirik terbitan
Kita berkarya untuk penyadaran
Kita berupaya untuk perubahan

Tataaran, 13 Maret 2012


















Datanglah kiamat

Tak maukah kita menyandang
Kedudukan terhormat
Sementara laku kita
Jauh daripada cahaya
          Bagaimana bias membangun negeri
          Bila kita tak jinakkan diri sendiri
Tak malukah kita
Berkedudukan tinggi
Sementara mampu kita
Tak lebih baik dari budak
          Bagaimana kita berbangga diri
          Bila tak punya harga diri
Dunia ini penuh kemunafikan
Dunia ini di jelang jurang
Kiamat, cepatlah dating
Biarlah yang telah using
Tertelan, hilang tak lagi terlahirkan
          Untuk apa mengada di dunia
          Bila harus berebut-saling makan
          Hidup begitu tak ubahnya binatang
Kini kita hanyalah binatang
Andalkan naluri tak rela berbagi kandang
Kini, kita persis hewan
Maunya sendiri tak junjung aturan
















Hantu Penasaran

Burung kerok menohok-nohok langit
Dengan suara serak hingga berak
Kami tahu, kami sudah tahu
Itu pertanda serorang warga telah dibawa jauh
          Burung berbunyi tak henti
          Memekak telinga berhari-hari
          Ada apa ini? Secepat itukah kita mengantri?
          Suami hilang istri, istri hilang suami
Atau, tak perlu bertanya pada ilahi
Baiknya pada diri sendiri
Kita selalu mencari kambing hitam
Dalam kita ada borok, bau busuknya tak tertahankan
          Barangkali, hidup kita banyak meniru orang kota
          Sehingga terserang wabah kota
          Penyakit menghisap badan
          Gara-gara banyak orang makin daging haram
Kata dokter ada yang salah
Dengan pola makan
Kita mampus oleh kerakusan
Kita mampus oleh ketamakan
          Kita mati dalam lumbung
          Karena kedunguan
          Kita mati tanpa ampun
          Karena ketololan
Lanjutlah dengan ketololan
Lanjutlah dengan kedunguan
Kalau mau berakhir mengenaskan
Kalau mau berakhir dan jadi hantu penasaran












Sajak untuk kita

Mungkin semua ini tak bias lagi membaik
Kendati orang baik berjuang setengah mati
Perjuangan mereka tak berarti
Perjuangan hanya setitik
          Hanyalah Yang Maha Kuasa yang bias
          Kita bukanlah apa-apa
          Dunia ini sedang hancur oleh ulahnya
          Punah oleh ketidaksadarannya
Kita bukan membangun rumah
Tapi kuburan
Untuk kita
Untuk semua
          Kian berkembang semakin binatang
          Mungkin di dunia lebih banyak setan
          Kita tak kuat, kita tersesat
          Masuk dalam jerat oleh para sahabat
Ingin ku gugat Tuhan
Harusnya dia membunuh para setan
Tapi dibiarNya berkeliaran
Manusialah yang jadi korgan
          Tapi, apatah aku?
          Terbuat dari debu
          Pula kembali mendebu
          Hanya sanggup mengeluh
Kalau mengubah dunia adalah cita-cita
Itu tak lebih dari sebuah euforia
Mengubah diri sendiri sudah susah
Namun, bukan berarti tak bias
          Kita telah tersesat
          Karna selalu abaikan petunjuk
          Cerita hidup kita menjelang tamat
          Sbab tak mau rujuk
Ini salah siapa?
Orang tua, yang wariskan kebiasaan?
Atau, salah sendiri tak mau percaya kebijaksanaan?
Barangkali, mestinya sekarang pikirkan masa depan
          Kembalilah
          Kita mulai dari awal    
          Kejarlah hikmat
          Lakukan moral
Belajarlah mendengar
Pahamilah suara-suara
Menarilah mengikuti irama
Tembangkan lagu-lagu indah
          Bangunlah rumah nan bersahaja
          Buanglah niat membangun Istana dan menara
          Rumah sahaja ditinggali keluarga
          Istana dan menara untuk seorang raja
Tanpa kemenangan adalah kesederhanaan
Bila masih berlomba kita sudah kalah
Karena menang adalah kesendirian
Jangan bertanding, baiklah bersanding









Lupa diri

Panas pagi menyengat kulit
Keringat masih enggan menembus pori-pori
Dari tadi aku sudah sampai di sini
Sendiri bertemankan sepi
          Aku melihat gedung-gedung bercat putih
          Bertolak dengan langit, biru berganti abu-abu
          Persis suasana di Gaza saat ini
          Dengar-dengar, Israel kirimkan terus banyak pembunuh
Gedung-gedung bercat putih
Diatasnya terdapat kubah
Dimana ciri Minahasanya?
Bupati disini senang meniru timur tengah barangkali
          Manguni dipaksa lengser oleh merpati
          Tapi selalu mengaku Tou Minahasa sejati
          Kalau pemimpin sudah krisis identitas
          Pantaskah dia digelari Tonaas?
Rupanya banyak yang bersyukur
Bilai nilai-nilai leluhur lebur
Nampaknya kita lebih suka mengekor
Tak punya jiwa pelopor
          Bukan berarti aku benci dunia luar
          Namun, aku ingin orang tahu darimana kita berasal
          Kita dilahirkan dengan bekal masing-masing
          Jadi, haram menyembah yang asing
Terbang jauh burung-burung
Tak lupa mereka dimana sarang
Ingin dipandang?
Berikan barang dari hasil keringat kita yang bercucuran












Alam Ingin Diperhatikan

Di gereja berhamburan pembungkus permen
Banyak juga kantong makanan ringan
Jemaat sampai pendeta suka lempar sampah sembaran
Bagaimana bisa mereka terus gembar-gemborkan perihal iman?
          Di gedung sekolah lebih banyak guru tak juga pentingkan kebersihan
          Bertolak belakang dengan slogan-slogan
          “Sekolah sebagai pusat kebudayaan”
          Lembaga ini mengusir murid jauh dari pendidikan
Kantor-kantor pemerintah tak ketinggalan
Mereka pandai menyimpan kebohongan
Selalu berteriak-teriak “Penting menjaga lingkungan”
Dalam badan mereka penuh kekotoran
          Bersih harus bermula dari dalam
Harus berawal dari kita
Orang meniru perbuatan
Mereka tak paham kata-kata hampa
Tanpa sadar kita meracuni air
Air yang kita minum
Tanpa sadar kita mencemari tanah
Tanah dari mana makanan kita meruah
          Barangkali tidak sadar, kita kotori udara
          Udara yang kita hirup tiap saat
          Mungkin juga kita lupa
          Menggunduli hutan mengundang malapeta
Berterimakasihlah pada alam
Bukan sebaliknya, mencipta ketidakseimbangan
Bersyukurlah pada Tuhan
Jagalah apa yang Dia percayakan
          Baiklah kita kembali berteman dengan alam
          Keakraban dengannya adalah kenyamanan
          Baiklah kita bersahabat dengan lingkungan
          Kedekatan dengannya adalah kebahagiaan
Hiduplah dari kecukupan alam
Usah teknologi berlebihan
Alam menawarkan kesembuhan dan pemulihan
Kecanggihan tanpa batas hentar kita
Pada jurang penderitaan
          Gara-gara alam tak dapat penghormatan
          Ia pun berhenti berikan kesejukan
          Gara-gara lingkungan tak terima perhatian
          Ia pun tampil dengan wajah muram
Umur bumi bergantung pada penghuni
Umur tubuh bertopang pada jiwa
Rawatlah rumah, sebab disitulah istana
Peliharalah tubuh, karena disitu berdiam Alla
          Privaitasasi air menyumbang sampah plastik dimana-mana
           Kita mengonsumsi air bercampir bahan kimia
          Kenapa air kini mesti pula dibeli?
          Padahal seharusnya gratis
Tanya itu pada bapak dan ibu terhormat
Tanya kenapa semua yang menguasai hajat hidup orang banyak
Telah dibiar mereka dijarah para penghisap darah
Tanya kenapa tak ada sisa untuk rakyat








Dicari Guru yang Tahu Mendidik

Dengan langkah tergesa
Siswa siswa menuju sekolah
Mereka asyik bercanda tawa
Berbagi peristiwa tadi malam
          Yang lainnya datang dengan sepeda motor
          Terlambat kerna tadi malam telat molor
          Berpacu dengan guru
          Yang juga tak bisa datang tepat waktu
Para siswa berbaris bak prajurit
Setiap pagi berebut tempat bebas cubitan matahari
Keringat menyembur keluar
Menguak bau badan tak sedap
          Maka setiap pagi mereka berontak
          “Sudah waktunya bertanya”
          Sebagai tanda pubertas
          Mencari-menunjuk identitas
“Anak-anak kini makin liar tak terkendali”
Begitulah keluh guru yang hilang nyali
Kenyataan mereka hindari
Tak mau susah payah cari solusi
          Yang paling mudah, melecut mereka
          Membentak mereka
          Mengancam tidak dinaikan kelas
          Atau membiarkan saja
Kalau begini caranya
Berarti kita sedang meraksasakan ular
Untuk melahap kita













Hadapilah Ulah Kita

-Kapan kiamat?
Kita sedang kiamat, kataku
Sedang kiamat oleh ulahmu
Sedang kiamat oleh ulahku
Masihkah kita hendak mengelak?
-Seperti apakah kiamat?
          Bila nurani tak ada tempat, kataku
          Tak ada tempat di hatimu
          Tak ada di hatiku
          Masikah kita mau mendebat?
Bukankah kiamat berarti tamat?
Kita sementara menuju kesana, kataku
Kita berarak menjemputnya, bukan begitu?
Kita berarak menyongsongnya, kataku
Masih tidak sadarkah kita?
Bagaimana bisa?
Kitalah penyebab kiamat, kataku
Kitalah biang keladinya, kataku
Kitalah bangsatnya, kataku
Masihkah kita menolak?
Apakah sudah terlambat?
Proses wafat tak bisa berhenti, kataku
Arakan sudah lepas di jalan, kataku
Bahkan mereka anggap sedang menuju surga
Tinggal, maukah kita memperlambatnya?















Hikayat Guru Murid

Para murid mencontoh
Pada sosok yang bodoh
Sosok yang banyak melongoh
Daripada menjadi tokoh
          Para guru hanya berlalu
          Seakan tak tahu
          Apa yang berlaku
          Padahal keadaan kita kian memburuk
Lolombulan malu melihat ke bawah
Tingkah kita sudah sangat kelewat batas
Makin egois dan saling memangsa
Yang berduit menghimpun tanah
 Berlapang-lapang demi anak mereka yang manja
Terpaksa banyak yang kehilangan tanah
          Nanti mereka didesak pula ke kota
          Dan menjadi tukang minta-minta
          Anak-anak gadis jadi kupu malam
          Ayah menjadi pencuri anjing dan ayam
          Dijual ke restoran-restoran
          Semua hanya karena harus bertahan
Para murid hilang harapan
Orangtua pun banyak yang tak bisa diandalkan
Mereka berusaha mencari hiburan
Menghapus lara di kala mereka masih rentan
          Para guru yang tak punya hati
          Membuang jauh rasa peduli
          “Biarkan mereka merintih”
          Teriak guru yang telah kuburkan nurani
Para ibu yang miskin
Berseru-seru kepada ilahi
“Biar rahim kami kering.
Agar penderitaan ini tak terwariskan.
Cukuplah hanya kami.
Mereka telah berpindah ke bumi
          Yang kaya dengan enteng
          Mereka berkilah
          “Kalian malas. Orangtua kalian malas.
          Tak sudi kai berbagi hasil kerja keras!”
Bagaimana bisa?
Kami dimiskinkan!
Kami diasingkan!
Alat produksi dimonopoli
Lapangan kerja dibatasi
Pendidikan sarat diskriminasi
Ada jurang lebar dalam kualitas
Kerja bagus harus ijasah universitas
          Di Indonesia kita dibayar
          Berdasar ijasah. Bukan kerja
Para murid mencontoh
Pada sosok yang bobrok
Sosok yang senang membelot
Lainnya berpeluh, sedangkan dia sibuk ngorok.









Mengajar

Mengajar laksana berkebun
Dimulai dari pembersihan
Mencabut habis segala rerumputan
Agar besar beni ditebarkan
          Mengajar itu adalah menanam
          Membantu menyiram di kala kekeringan
          Mencabuti alang-alang
          Yang bisa merintang pertumbuhan
Mengajar adalah kerja pendidik
Menanam adalah kerja petani
Dua-dua punya falsafa yang sama
Dua-dua mengharap hasil yang serupa
          Kalu buruk petaninya
          Tak baik hasil panennya
          Kalu tak becus pendidiknya
          Tak baik sumber daya muridnya
Petani harus rajin melihat tabiat alam
Pelajari bulan dan letak benda-benda langit
Pendidik mesti tekun merenung
Perhatikan lingkungan  dan pahami yang pelik
          Mengajar adalah panggilan
          Untuk dan demi masa depan
          Mengajar adalah pengabdian
          Agar ada perubahan
Wahai pendidik, resapilah dan tunaikanlah!















Pencerahan di Sore Hari

Sinar matahari sore menembusi jendela
Hangatnya tak seperti beberapa jam lewat
Lama sudah ternyata aku mengurung diri di kamar
Beberapa buku kecil dan besar kupindah
          Menata buku-buku yang berjejer itu
          Merupakan kerja yang aku suka
          Tambah lagi banyak rayap-rayap nakal
          Melubangi kertas-kertas tebal
          Mereka tak tahu semua itu dibayar mahal
          Seandainya mereka tahu!
Buku yang jumlahnya mendekat ribuan
Setiap hari memelas minta perhatian
Menawarkan sejuta istilah
Sejuta pengetahuan
          Aku berharap kebiasaanku menjangkit
          Biar semakin banyak yang tercerahkan
          Lebih bijak melihat dari banyak sudut
          Karna orang begitulah yang utamakan kebenaran
          Tak terjebak seperti katak dalam tempurung
          Sebab pecinta kebenaran dekat dengan Tuhan
Matahari nyaris tertutu semua oleh Sinonsayang
Aku pun nyalahkan komputer menyetel lagu-lagu
Kubuka beberapa folder
Foto pacarku menyebar pada layar datar
Semuanya melihatku merayu
Aku tersenyum dan mulai merindu
Dalam diam terucap “selamat sore sayang”.













Cinta Sejati Kekasih

Seperempat abad lebih aku kini
Sedang dikau masih di ujung belasan
Kepalaku tak lagi lebat
Kejelekkan pelan-pelan mulai merapat
Kau bilang, “Aku malah makin sayang.
Aku malah kian terpana.”
          Ketulusanmu memelukku
          Kuhargai sepenuh hati
Memang, kadang aku terheran-heran
Kepadaku engkau menjatuhkan pilihan
Keremajaan t’lah engkau korbankan
Masa senang-senang engkau tinggalkan
Demi aku yang sama sekali tak romantis
Buat aku yang taklah sepadan
          Kemesraan yang penuh
          Kusuka sampai mati
Kau taburi hidup ini dengan bunga warna-warni
Meruah hari-hari dengan pengorbanan diri
Kau bilang, “Ku ingin kau selalu di sini.
Hanya kau yang mengajari bagaimana mestinya hidup dijalani.”
Tak kusangkah sepenggal pesan singkat
Yang kukirim saat kebetulan kau penat
Ciptakan selamat, sesak terlewat
          Perhatianmu
          Kurindui setiap detik
Terima kasih kerna kau baik
Memberi warna pada kertas putih
Mengirim harapan untuk hari-hari yang belum pasti












Sajak untuk Della (Sebuah keluhan)

Della, kuharap kau baik-baik di sana
Janji yang tak pernah kita buat
Semoga tetap kau ingat
Hingga kau selalu yakin di sana aku pun ada
          Kita sama-sama berjalan
          Saksikan banyak kegagalan
          Ada tahun kita berkelimpahan
          Ada tahun terpaksa kita menerima keadaan
          Telah lama kita berpacaran
          Sudah dua tahun lima bulan
Kalau usia, kita sudah matang
Sudah bisa bikin anak sendiri
Sebagai penerus keturunan
Biar dia jadi seorang polisi
          Ah jangan!
          Tak sudi aku, jadi alat pemerintah
          Bisa-bisa mereka mencelakai kita
          Lihat saja!
          Gara-gara tuntut keadilan
          Polisi-polisi itu pentungi kita
          Gara-gara kita mohon harga diturunkan
          Pemerintah suruh tembaki kita
Della, menikah nanti saja
Moga-moga kelak pemerintah sadar juga
Aku tak mau anak-anak kita ditembak semua
Kalau mereka kini lahir
Lekas mereka tersingkir
Sebab pemeringah tak ingin anak pintar
Yang mereka ingin anak-anak lapar
Agar mudah diperintah-perintah sebagai budak










Tak Ada Arti

Memandang Lolombulan dan Sinonsayang
Dalam suasana sanubari tak berujung
Aku tersesat pada dunia nyata
Gantungkan harap di cabang yang hampir patah
          Ladang bersama kami garap
          Pada mata bajak bertetesan keringat
          Namun kami taklah bijak
          Masing-masing arahkan bajak pada sasaran berbeda
Anak-anak berlompat-lompat
Sudah keluar dari kandang
Mereka kehilangan gembala
Dia sibuk dengan rupa-rupa sia-sia
          Aku serupa gembala tolol
          Melihat mereka yang tak punya nurani
          Tak paham mereka mendidik
          Yang mereka pentingkan ialah gaji
Aku hanyalah orang tolol
Di antara mereka yang tak memiliki
Kemampuan untuk memahami
Keadaan kita di hari nanti
          Aku menderita
          Menanggung sendiri penyakit kita
          Aku ingin meronta
          Tapi bagi mereka itu tak ada makna
















Harapku

Ingin sekali aku melihat generasi berikut
Saling menopang bukan saling sikut
Bukan hanya membeo
Atau serupa bunglon
          Sebab kita sebenarnya begitulah
          Tak sadar, hanya ikut-ikutan
          Kreatifitas menjadi tumpul
          Banyak meniru yang tak perlu
Seiring waktu terus beraktifitas
Kita pingsan mimpikan yang tak pantas
Jiwa kita mandek
Buntuh oleh perbuatan pasar bebas
          Tak ada kata “tak bisa”
          Untuk mereka yang terus berusaha
          Jangan menyerah pada masa
          Nasib tergantung pada kita
Jauh hingga angkasa
Orang Amerika telah menjelajah
Semua bisa digapai
Asal kita berupaya
          Tentu kita ingin bahagia
          Menjalani hari esok tanpa ragu
          Tentu kita impikan sejahtera
          Menapaki detik per detik tanpa malu
Belajarlah pada yang tahu
Meniru hanya yang bagus
Rubahlah sesuatu bila itu perlu
Toh, kesanalah kita menuju












Rindu Kepada Kekasih

Beberapa hari ini aku tak melihatmu
Tak mendengar suaramu
Tak menyentuh kulitmu
Tak mencium bau tubuhmu
          Namun kau hadir dalam benak
          Kau muncul dalam perasaan
          Kau terukir dalam catatan
          Kau tersentuh dalam percakapan
Jangan kau salah sangka di sana
Di sini aku tetap sama
Hanya ada sedikit masalah
Ponselku belum terisi pulsa
          Ciumlah pakaian yang kutinggal di kamar
          Karena bau itu bagian diriku
          Bacalah buku yang kusarankan
          Lewat dunia ide kita bertemu
Pulanglah kau sayang
Bila ada libur barang seminggu
Kan kumanja kau di atas pangkuan
Dalam dekapku kau boleh menuntut
          Pulanglah sayang
          Hadirmu begitu kutunggu
          Biarlah kita ukir kenangan
          Janganlah kau merajuk
















Lempar Iman

Satu lagi kejadian
Seorang siswa kedapatan mabuk
Padahal baru kelas dua SMP
Cari uang belumlah tahu
          Satu lagi kejadian
          Beberapa siswa kedapatan berciuman
          Padahal masih ingusan
          Menimang bayi belumlah tahu
Satu lagi kejadian
Seorang mahasiswa bunting tiga bulan
Padahal baru duduk di semester dua
Cari pacarnya entah telah kemana
          Satu lagi kejadian
          Seorang bayi tewas karena kurang perhatian
          Padahal ibunya belumlah menikah
          Ayahnya juga lari dari tanggungjawab
Telah banyak kejadian
Anak gadis hijrah ke kota-kota
Dengan kedok mencari kerja
Tak berijasah andalkan raga
          Telah banyak kejadian
          Gadis-gadis kita pulang membawa harta
          Keluarga terima mobil mewah
          Darimana uangnya, orangtua tak pernah tanya
Gereja juga seolah memberi iya
Memberi contoh mengejar kaya
Yang penting jemaat terus memberi uang
“Masa bodoh, pabila tak beriman”












Terselip dalam Semangat Sejarah

Engkau gelisah setiap malam
Banyak cita tak tumbuh dan berkembang
Ya, engkau sudah pasti gelisah
Menyaksikan generasi menuju ke arah yang salah
          Para tetangga bukan mereka
          Bukan mereka yang mau diajak bicara
          Tentang cita
          Tentang kita
Engkau gelisah di atas ranjang
Merenung timbunan kegagalan
Mengapa mereka malah menghalang?
Malah membiarkan kapal karam
          Pikir mereka aku orang gila
          Hanya karena ada yang beda
          Hanya karena menentang realita
          Hanya karena minta mereka buka mata
Engkau terusan resah
Mereka tak henti menghina
Memegang teguh “yang sudah biasa”
Kepada kesesatan mereka menyembah
          Sangka mereka aku tak layak
          Karena aku sendirian
          Karena mereka banyak
          Sangka mereka kebenaran memihak jamak
Engkau selamanya resah
Lenyap dalam kenangan
Pupus dari ingatan
Namun akan selalu bersama semangat sejarah












Pagi Buatan Tuhan

Belumlah lama mata tertutup
Pagi datang menyusul
Cepat, cepat sekali tidur berlangsung
Tak sempat mimpi dirajut
          Kami menembus tiang-tiang hujan
          Rintik-rintiknya memagut wajah
          Roda-roda berlari dikejar setan
          Banyak kali kekasihku bilang, “Pelan-pelan saja”
Akupun ingat bahwa kami masih muda
Belumlah banyak yang dikerja
Kecepatan yang ditunggang kukekang
Demi selamatkan dua nyawa
          Memanglah indah laju dilambat
          Sambil menikmati deretan rumah
          Deretan sawah dan beragam tanam
          Menghargai setiap karya Tuhan
Angin pagi mendekap kami dingin
Kekasihku tak tahan menahan ingin
Ingin merengkuh, mengusir bersin
Oh amboi! Di sudut bibir senyum tersungging
          Dalam dada terungkap harap
          Bila boleh umur jangan berhenti
          Bila boleh biar ini jadi abadi
          Terus muda meremaja
Namun, aku hanya dicipta
Tentu Dialah yang menetapkan
Kita hanya sanggup berserah
Taat pada sabda dan titahNya












Kupu Dan Putri Kecil

Puteri-puteri kecil berceloteh ria
Menangkap kupu berwarna putih
“Hey! Ada kupu raja.
Kupu ratu juga ada”
          Tiga anak perempuan itu
          Melempar senyum pada kami yang duduk
          Dua anak perempuan kembar
          Senyuman elok diumbar-umbar
Puteri-puteri tak berdosa
Menghias indah suasana
Tidak lengah mereka bertukar canda
Bertukar pula cerita dunia khayal
          Kini pergi mereka dibawa kakek
          Bertiga mereka di punggung kendaraan
          Kini mereka hilang tinggalkan kenangan
          Bertiga berlalu sambil terkeke
Rindu aku pada mereka
Tiga putri kecil yang tak kukenal
Tak tahu anak siapa
Mereka pergi tinggalkan tawa
          Kupu raja terbang
          Mencari tiga putri
          Kupu ratu memandang sedih
          Kupu-kupu kini sendirian
Rinduku pada putri-putri kecil
Terukir pada sayap kupu
Kebasan sayap kebebasan merapat
Pada putri dan kupu aku mengingat












Tugas Pemberian Tuhan

Bersama kita tertawa
Menohok dan menggelitik langit
Hembusan angin barat merambat
Membuat ngilu sendi-sendi
          Aku senang duduk di sini
          Belajar memahami dan mengerti
          Melihat semua dari lain sisi
          Mencegah kita dari selisih
Sungguh, aku senang bila kita saling memandang
Membiar diri larut dalam permenungan panjang
Ke jauh jangkau pikir terbentang
Hati turun dalam membenam
          Aku senang duduk di sini
          Agar pengalaman kita saling mengisi
          Aku mau merengkuh engkau duhai kekasih
          Berharap selamanya kita berbagi
Pada matahari hampir terbenam
Benih bibit kutitipkan
Harapan bergantung pada masa depan
Masa depan dua insan
          Matari bawalah pesan-pesan
          Katakan, diriku ini kerasan
          Terkandung rindu dendam
          Bilang dihalang akan kutentang
Matahari kembalilah bersama sabda Tuhan
Datanglah dengan iring-iringan
Jadilah saksiku dalam juang
Juang demi tanggungjawab yang ku emban












Galau Sang Lelaki Itu

Hampir seharian langit menyiram bumi
Malam basah kuyup menahan gigil
Gigi-giginya gemeletuk
Tubuhnya berusaha diselimutinya
          Tirai dekat jendela melambai
          Kodok-kodok bersenandung
          Burung-burung tidur setengah sadar
          Jangkrik berderit gembira
Adalah seorang lelaki galau
Mengembara tak tentu arah
Berharap beroleh keteguhan gunung
Seikhlas air mengalir berduyun
          Adalah seorang lelaki risau
          Pikirkan keadaan kian kacau
          Kepercayaannya tak bisa bertahan
          Agama hanya alat manusia-manusia degil
Kabut merapat berkumpul
Halangi gemintang yang menebar pesona
Betapa si lelaki meluntur pada agama
Kebenaran tersingkir oleh tahayul nan betul
          Si lelaki bimbang
          Tak dapat dipercaya lagi sang nahkoda
          Sang nahkoda mabuk oleh rayuan ombak
          Sang nahkoda terbuju oleh semaraknya rayuan ikan
















Hikayat Lelaki Cerewet

Lelaki tua berlumur tawa
Setiap hari mencipta canda
Rajin dia berceloteh
Tentang hal yang remeh
          Kursi kosong ditinggal melompong
          T’lah bosan rupanya mereka menyimak
          Menyimak setiap kalimat
          Kalimat seloroh sarat penat
Lelaki tua kebanjiran kata
Tak dikeluarkan sesakkan dada
Ia hanya singkirkan beban
Bebaskan raga dari kungkungan pikiran
          Ia tak berharap lebih
          Memelas dia tak ingin
          Hanya siapkan saja kuping
          Kata-katanya kuat melengking
Lelaki tua serupa orang bijak
Mengumbar kata tiada putusnya
Tak peduli apa didengar
Terus saja dia berkilah
          Barangkali takkan berhenti
          Dia seorang wicarawan sejati
          Dibawa terus hingga mati
          Karena sudah anugerah ilahi
















Pesan Mayat

Kalau aku mati, kobarkan api
Biarlah raga hangus menjadi abu
Tak mau aku dilubangi ulat-ulat
Tak mau aku berbau busuk
          Usah sibuk mencari sebidang tanah
          Sebidang tanah untuk tak bernyawa
          Usah terbeban membeli kayu
          Kayu untuk dia yang mati tubuh
Bila tersisa sebuah penghormatan
Ceritakan apa yang aku perjuangkan
Ceritakan pula harapan
Tak perlu tunjukkan nisan
          Karena aku taklah mati
          Hanya dari jauh mengamati
          Dari dunia yang lain
          Hanya bisa menyentuh dengan angin
Tertawalah saat aku kaku terbaring
Hilangkan upacara yang tak perlu itu
Cegah orang itu memuji di atas mimbar
Kata-katanya buruk serupa bau mulutnya
          Jangan buat aku mual
          Jangan buat aku muntah
          Jenasah cepat membusuk
          Bila biarkan mereka bodohi kita terus
















Sajak untuk Kita yang Diselamatkan

Kristus tergantung siksa tak bisa merontah
Mereka yang irih berdiri dengan pongah
Bersorak gembira…
“Perebut tahta pergilah ke neraka!” mereka berkata
          Anak domba dengan berat beban di punggungnya
          Berkali-kali dilecut
          Darah mengucur dari tubuhnya
          Sumpah serapah pun diterimanya
Ia terhitung sebagai pemberontak
Ia terhitung orang yang terkutuk
Terseok-seok dia melangkah ke Golgota
Orang-orang memandang tanpa kata
          Dalam keadaan itu mereka terus mengolok
          Tak putus-putus mereka mencambuk
          Menendang, meludah sampai membuatNya telanjang
          Tapi Dia tiada mendendam
Dia dikoyak-koyak dengan biadab
Agar kita mendapat selamat
Dia siap disembelih seperti domba
Karna dosa-dosa kita
          Camkan! Renungkan!
          Paskah bukan selebrasi dengan rupa pernak-pernik
          Paskah adalah perenungan
          Bukan perayaan gagah-gagahan
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah pengorbanan
Pengorbanan seorang kawan
Paskah adalah penyelamatan
          Camkan! Renungkan!
          Paskah adalah menata
          Menata jiwa
          Bukan hura-hura tak bermakna
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah menyadari salah
Menyadari dosa dan kebohongan kita
Kebohongan yang tersembunyi di balik senyum ramah
          Ingat…
          Dia sekarat agar kita tertawa
          Dia wafat agar kita selamat
Kristus…
Engkau agung dan mulia
Aku ingin terus eluh-eluhkan diriMu
Dalam tindaklakuku


















Tradisi Dunia Anjing

Dulu semeja kita memberi
Santun kita bergaul
Meski tradisional,
Beralaskan daun pisang, sendok tak ada
          Kini, kita berebut
          Laksana kawanan anjing dilempari tulang
          Hilang malu
          Seperti rusa tak berempedu
Padahal kita bangga pada modern itu
Perkakas serba canggih
Menu bervariasi
Namun di meja makan kita masih mengeluh
          Dulu, kita terundang atas dasar kerabat
          Sekarang karena uang yang diharap
          Dengan pongah berpesta ria
          Berharap tetamu gunungkan hadiah
Aku rindu pada dulu
Pada waktu ada tulus
Aku rindu pada dulu itu
Demi makanan kita tiada beradu
          Aku benci pesta kini
          Sebab kupunya harga diri
          Di rumah masih berlimpah nasi
          Yang terutama adalah belas kasih
















Lexy Sual, Papaku

Lelaki tua, tak pernah lelah
Hari-harimu disarat kerja bertumpuk
Langkahmu kian membungkuk
Tapi asamu terlampau keras untuk patah
          Kau bangun terburu-buru
          Tak pulas kerna rindu pada ladang yang sedang kau garap
          Pulang rumah selalu malam
          Semangatmu tak kunjung luruh
Lelaki tua, yang kupanggil papa
Menjadi anakmu selalu kubangga
Teladanmu adalah warisan
Lebih berharga dari mutiara
          Beratus pohon nyiur telah kau tanam
          Beratus sudah kau tanam cengkeh
          Buah karyamu membuat panjang namaku
          “Iswan Sual, S.S. Ohai! Ini mahakaryamu papa”
Lelaki tua yang mendamping mama
Laksana langit kau setia
Indahkan perintah ilahi
Kau buat kami punya nyali
          Dalam puisi kau terkenang abadi
          Biarlah terus dilirik-lirik rawi
          Kau panglimaku dalam setiap yuda
          Pada kami tak kau membisik durjana
















Jalan yang Kupilih

aku bukanlah yang kalah
hanya karena tak bergelimang harta
tiada populer
dan tidak termasuk golongan orang pinter
          janji pada diri t’lah terpatri
          biarpun godaan dunia mengajak
          takkan mampu meretas
          prinsip-prinsipku aku akan tetap begini
aku bukanlah yang salah
Cuma karena tak datang berdua
Tanpa pembela
Dan tak ada yang menopang
          Tampak gila tidak berarti sinting
          Dunia ini gampang dibujuk angin
          Dininabobokan malam
          Sampai-sampai memangsa saudara sendiri
Aku hanyalah insan
Dengan langkah pasti
Mencari jalan alternatif
Terpisah dari jalan kesesatan
          Meski dihalang duri
          Dengan tekad bulat akan kutelusuri
          Walau tanpa seorang menemani
          Aku yakin dengan jalan yang kupilih


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar