Sabtu, 14 April 2012

CERITA RAKYAT ISWAN SUAL


TERTIUS DAN HERO
Oleh Iswan Sual

Setiap hari raya pengucapan di desa Ongkau, hampir seluruh warga dari desa Tondei datang kesana. Di hari raya ini warga bertemu dengan saudara-saudara mereka yang telah bermukim di Ongkau. Selain itu, pengucapan ini dijadikan ajang oleh warga Tondei untuk memperkenalkan kepada anak mereka mengenai pantai yang selalu mereka ceritakan. Jadi, hari itu juga dijadikan kesempatan untuk mengajarkan anak mereka berenang, mencari kerang, berbagai jenis ikan, dan bagaimana rasanya menaiki perahu.
Lama mereka tinggal di rumah saudara mereka di desa itu bisa hingga tiga hari. Bahkan sampai seminggu. Mereka kadang datang tiga hari sebelum hari H sampai tiga hari sesudah hari H. Namun saudara tidaklah keberatan. Nasih jaha, dodol , erwe, babi rangsak dan beragam makanan lain yang melimpah dapat menghidupi rombongan itu lebih dari sehari.
Para pemuda dan pemudi dari dua desa itu ada yang menemukan jodoh mereka di kala hari pengucapan. Ini membuat kekerabatan antara dua kampung itu semakin erat. Sehingga Ongkau, dirasa seperti kampung sendiri oleh orang-orang dari Tondei.
Suatu hari para pemuda saling menantang untuk beradu dalam sepak bola. Peraduan dalam sepak bola merupakan kesempatan pemuda-pemuda untuk menunjukan kebolehan sekaligus kejantanan mereka. Peraduan ini juga dianggap untuk lebih mengakrabkan para pemuda dan pemudi. Melalui kesepakatan, mereka memutuskan untuk bermain di lapangan dekat pantai. Lapangan itu tidak terlalu memadai untuk pertandingan karena terletak di bahan pohon-pohon kelapa. Mereka pun mulai bermain. Awal permainan seru. Kedua tim memiliki pemain-pemain yang tangguh. Skor mereka seimbang. Namun, yang aneh ketika permainan berlangsung. Setiap kali pemuda Tondei mendapatkan bola, mereka selalu mengarahkan tendangan mereka ke arah buah kelapa. Dan buah kelapa selalu jatuh dan nyaris melukai pemain-pemain Ongkau. Pada mulanya, mereka menganggap itu adalah ketidaksengajaan yang berulang. Namun, lama kelamaan niat untuk menang dengan cara curang yang dilakukan oleh tim dari Tondei ketahuan juga setelah tiga dari pemain andalan tim Ongkau terluka kakinya karena dijatuhi buah kelapa. Mereka naik pintam dan siap untuk berkelahi. Rupanya perkelahian adalah hal yang ditunggu oleh para pemuda Tondei. Mereka yakin perkelahian itu pun akan mereka menangkan. Berbekal jimat yang ada pada para pemuda Tondei, pemuda-pemuda Ongkau tungganglanggang ke rumah. Dan mereka mengaduhkan persoalan itu ke hukum tua setempat.
Hukum tua yang berang langsung menuju ke lokasi kejadian. Satu per satu pemuda-pemuda Tondei dipukulinya. Jimat yang mereka andalkan tak berkutik menghadapi Ruli, sang kepala desa. Dengan tergopoh-gopoh, lari beberapa pemuda yang menyaksikan penyiksaan ke Tondei. Sang pemuda yang berlari seperti di kejar setan itu bahkan sempat menyimak bahwa pemuda-pemuda itu akan dibunuh oleh kepala desa.
Berita tentang penyekapan para pemuda Tondei tersebar ke segala penjuru kampung Tondei. Orang-orang tua yang sedang di kebun pun pulang. Terkumpulah mereka dan menuju ke Ongkau. Kedatangan rombongan itu tidak menciutkan keberanian Ruli Maringka. Dia bahkan mengumumkan kepada masyarakatnya untuk bersiap-siap pula. Rulli dengan pistolnya naik ke atas kuda jangkungnya memimpin pasukan. Mereka telah bersepakat untuk mencegat pasukan dari Tondei di perkebunan Pondos. Perkiraan mereka meleset. Belum seratus meter mereka meninggalkan Ongkau, terlihat rombongan  yang hnya terdiri beberapa orang menuju ke arah mereka.
“Berhenti! Kita tunggu saja di sini. Biarkan mereka sendiri menyerahkan nyawa mereka,” kata Rulli dengan pongah.
Rombongan kecil itu terus mendekat. Ternyata di Tondei terjadi kesepakatan, bahwa hanya beberapa saja yang akan turun berperang bila itu harus. Warga lain diminta untuk kembali meneruskan aktifitas mereka. Rombongan itu terus merapat. Yang ada dalam rombongan itu antara lain, Tertius Sual dan Hero Timporok. Dari segi fisik dan usia sudah tak mungkin mereka untuk berperang. Tak satupun dari mereka membawa parang. Hanya lilitan kain merah di kepala yang kentara .
“Kalian di sini saja! Mereka tak lebih dari lima orang. Biar aku yang hadapi mereka,” kata Ruli sambil menggiring kudanya menyusul rombongan Tertius dan Hero.
Tiba-tiba  langkah kuda Rulli terhenti. Matanya terbelalak. Kuda yang ditungganginya berontak tak mau maju. Tinggi kuda menganggkat kedua kaki depannya. Rulli pun berusaha menenang kuda dan melompat turun. Begitu dia berada di depan rombongan itu dia menjatuhkan diri dan tersungkur sambil memohon ampun kepada dua kakak itu. Berkali-kali dia memelas agar dia tak diapa-apakan. Seluruh warga di belakang Rulli terheran-heran dengan apa yang mereka saksikan. Rulli yang sombong dan tanpa belas kasih sering memukul warganya dan warga luar dengan kejam kini menangis seperti anak kecil. Padahal dulu, dia sangat beringas. Apalagi, ketika menyiksa para anggota dan dicurigai memiliki hubungan PKI. Dulu mentalnya tak beda dengan para kompeni yang bengis. Memang tak mengherankan, dia bekas tentara KNIL. Dia meniru dengan seksama cara Westerling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar