TERTIUS DAN
HERO
Oleh Iswan
Sual
Setiap hari raya pengucapan di desa
Ongkau, hampir seluruh warga dari desa Tondei datang kesana. Di hari raya ini
warga bertemu dengan saudara-saudara mereka yang telah bermukim di Ongkau.
Selain itu, pengucapan ini dijadikan ajang oleh warga Tondei untuk
memperkenalkan kepada anak mereka mengenai pantai yang selalu mereka ceritakan.
Jadi, hari itu juga dijadikan kesempatan untuk mengajarkan anak mereka berenang,
mencari kerang, berbagai jenis ikan, dan bagaimana rasanya menaiki perahu.
Lama mereka tinggal di rumah
saudara mereka di desa itu bisa hingga tiga hari. Bahkan sampai seminggu.
Mereka kadang datang tiga hari sebelum hari H sampai tiga hari sesudah hari H.
Namun saudara tidaklah keberatan. Nasih jaha, dodol , erwe, babi rangsak dan
beragam makanan lain yang melimpah dapat menghidupi rombongan itu lebih dari
sehari.
Para pemuda dan pemudi dari dua
desa itu ada yang menemukan jodoh mereka di kala hari pengucapan. Ini membuat
kekerabatan antara dua kampung itu semakin erat. Sehingga Ongkau, dirasa
seperti kampung sendiri oleh orang-orang dari Tondei.
Suatu hari para pemuda saling
menantang untuk beradu dalam sepak bola. Peraduan dalam sepak bola merupakan
kesempatan pemuda-pemuda untuk menunjukan kebolehan sekaligus kejantanan
mereka. Peraduan ini juga dianggap untuk lebih mengakrabkan para pemuda dan
pemudi. Melalui kesepakatan, mereka memutuskan untuk bermain di lapangan dekat
pantai. Lapangan itu tidak terlalu memadai untuk pertandingan karena terletak
di bahan pohon-pohon kelapa. Mereka pun mulai bermain. Awal permainan seru.
Kedua tim memiliki pemain-pemain yang tangguh. Skor mereka seimbang. Namun,
yang aneh ketika permainan berlangsung. Setiap kali pemuda Tondei mendapatkan
bola, mereka selalu mengarahkan tendangan mereka ke arah buah kelapa. Dan buah
kelapa selalu jatuh dan nyaris melukai pemain-pemain Ongkau. Pada mulanya,
mereka menganggap itu adalah ketidaksengajaan yang berulang. Namun, lama
kelamaan niat untuk menang dengan cara curang yang dilakukan oleh tim dari
Tondei ketahuan juga setelah tiga dari pemain andalan tim Ongkau terluka
kakinya karena dijatuhi buah kelapa. Mereka naik pintam dan siap untuk
berkelahi. Rupanya perkelahian adalah hal yang ditunggu oleh para pemuda
Tondei. Mereka yakin perkelahian itu pun akan mereka menangkan. Berbekal jimat
yang ada pada para pemuda Tondei, pemuda-pemuda Ongkau tungganglanggang ke
rumah. Dan mereka mengaduhkan persoalan itu ke hukum tua setempat.
Hukum tua yang berang langsung
menuju ke lokasi kejadian. Satu per satu pemuda-pemuda Tondei dipukulinya.
Jimat yang mereka andalkan tak berkutik menghadapi Ruli, sang kepala desa.
Dengan tergopoh-gopoh, lari beberapa pemuda yang menyaksikan penyiksaan ke
Tondei. Sang pemuda yang berlari seperti di kejar setan itu bahkan sempat
menyimak bahwa pemuda-pemuda itu akan dibunuh oleh kepala desa.
Berita tentang penyekapan para
pemuda Tondei tersebar ke segala penjuru kampung Tondei. Orang-orang tua yang
sedang di kebun pun pulang. Terkumpulah mereka dan menuju ke Ongkau. Kedatangan
rombongan itu tidak menciutkan keberanian Ruli Maringka. Dia bahkan mengumumkan
kepada masyarakatnya untuk bersiap-siap pula. Rulli dengan pistolnya naik ke
atas kuda jangkungnya memimpin pasukan. Mereka telah bersepakat untuk mencegat
pasukan dari Tondei di perkebunan Pondos. Perkiraan mereka meleset. Belum
seratus meter mereka meninggalkan Ongkau, terlihat rombongan yang hnya terdiri beberapa orang menuju ke
arah mereka.
“Berhenti! Kita tunggu saja di
sini. Biarkan mereka sendiri menyerahkan nyawa mereka,” kata Rulli dengan
pongah.
Rombongan kecil itu terus mendekat.
Ternyata di Tondei terjadi kesepakatan, bahwa hanya beberapa saja yang akan
turun berperang bila itu harus. Warga lain diminta untuk kembali meneruskan
aktifitas mereka. Rombongan itu terus merapat. Yang ada dalam rombongan itu
antara lain, Tertius Sual dan Hero Timporok. Dari segi fisik dan usia sudah tak
mungkin mereka untuk berperang. Tak satupun dari mereka membawa parang. Hanya
lilitan kain merah di kepala yang kentara .
“Kalian di sini saja! Mereka tak
lebih dari lima orang. Biar aku yang hadapi mereka,” kata Ruli sambil
menggiring kudanya menyusul rombongan Tertius dan Hero.
Tiba-tiba langkah kuda Rulli terhenti. Matanya
terbelalak. Kuda yang ditungganginya berontak tak mau maju. Tinggi kuda
menganggkat kedua kaki depannya. Rulli pun berusaha menenang kuda dan melompat
turun. Begitu dia berada di depan rombongan itu dia menjatuhkan diri dan
tersungkur sambil memohon ampun kepada dua kakak itu. Berkali-kali dia memelas
agar dia tak diapa-apakan. Seluruh warga di belakang Rulli terheran-heran
dengan apa yang mereka saksikan. Rulli yang sombong dan tanpa belas kasih
sering memukul warganya dan warga luar dengan kejam kini menangis seperti anak
kecil. Padahal dulu, dia sangat beringas. Apalagi, ketika menyiksa para anggota
dan dicurigai memiliki hubungan PKI. Dulu mentalnya tak beda dengan para
kompeni yang bengis. Memang tak mengherankan, dia bekas tentara KNIL. Dia
meniru dengan seksama cara Westerling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar